Rabu 16 Jan 2019 23:17 WIB

Impor Migas 2019 Dinilai tak Sebesar Tahun Lalu

Pengamat meyakini justru yang meningkat adalah impor bahan baku untuk infrastruktur

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas SPBU melayani masyarakat dengan mengisi BBM jenis Pertalite di Kota Sorong, Papua Barat, Sabtu (5/12/2019).
Foto: Antara/Olha Mulalinda
Petugas SPBU melayani masyarakat dengan mengisi BBM jenis Pertalite di Kota Sorong, Papua Barat, Sabtu (5/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Harga komoditas diperkirakan akan bergerak rendah tahun ini. Khususnya harga komoditas energi.

"Ini artinya impor migas tidak sebesar 2018. Jadi defisit migas sedikit berkurang," ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira kepada Republika, Rabu (16/1).

Hanya saja, menurutnya fluktuasi kurs rupiah masih sulit diprediksi. Padahal ini akan menjadi variabel paling penting dari kinerja ekspor dan impor.

Di sisi lain, Bhima menilai proyek infrastruktur pemerintah akan dikebut sehingga otomatis impor bahan baku dan barang modal untuk keperluan infrastruktur masih besar. Hal itu menjadi beban defisit perdagangan.

"Dari global, perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Cina akan gerus ekspor tahun ini. Data-data ekonomi AS menujukkan adanya slowdown effect akibat perang dagang. Sementara Cina dan AS berkontribusi 25 persen dari total tujuan ekspor nonmigas Indonesia," tuturnya.

Dirinya melanjutkan, tren bunga tinggi masih berlangsung pada 2019, meski Fed rate hanya naik dua kali. Tingginya bunga akan berimbas ke biaya pinjaman luar dan dalam negeri  sehingga memberatkan pelaku usaha. 

"Maka untuk usaha yang orientasinya ekspor akan menahan pinjaman. Sedangkan bank juga menjaga resiko sehingga pertumbuhan kredit relatif rendah," ujar Bhima.

Ia pun memproyeksikan tahun ini Indonesia masih catatkan defisit perdagangan di kisaran 7 sampai 8 miliar dolar AS. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi di 5 sampai 5,1 persen.

Sebagai informasi, pada kuartal IV 2018 defisit perdagangan dari Oktober sampai Desember 2018 totalnya mencapai 4,86 miliar dolar AS. Defisit ini lebih tinggi dibanding kuartal III 2018 sebesar 2,6 miliar dolar AS.

"Artinya kinerja perdagangan pada akhir 2018 bukan semakin membaik tapi semakin memburuk. Ini disebabkan beberapa faktor utama," kata Bhima.

Di antaranya, besarnya impor di semua kelompok sepanjang 2018 berkontribusi terhadap pelebaran defisit perdagangan. Total impor naik 20,15 persen. Sementara impor bahan baku naik 20,06 persen dipengaruhi oleh lonjakan impor untuk keperluan proyek infrastruktur pemerintah. 

Bahkan pada Desember, kata dia, biasanya permintaan bahan baku industri tidak optimal terpotong libur panjang justru impor besi baja masih mencatat pertumbuhan 4,96 persen. Besi baja impor pun dipastikan sebagian besar untuk kebutuhan proyek infrastruktur.

"Artinya komitmen pemerintah untuk menunda proyek yang berkontribusi besar terhadap impor belum serius," ujarnya. Selanjutnya, impor barang konsumsi dalam setahun naik  22 persen padahal konsumsi rumah tangga hanya tumbuh dikisaran 5 persen. 

"Ini bisa dicek apakah ada kontribusi dari maraknya e-commerce karena 93 persen produk ecommerce adalah barang impor. Penerapan kenaikan pph 21 untuk membendung impor barang konsumsi pun dampaknya bisa dikatakan nyaris tidak ada," tuturnya.

Impor migas menurutnya juga mencatat rekor sejarah 29,8 miliar usd loncat 5,5 miliar dolar AS. Ketergantungan BBM impor semakin besar dikala produksi dalam negeri turun dan harga minyak mentah rata-rata 70 usd per barel untk jenis brent. Kurs rupiah juga berkontribusi atas bengkaknya impor migas dari sisi nilai. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement