REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan, intensitas kegiatan impor gula oleh pemerintah Indonesia yang tinggi sudah terlihat sejak 2009. Tapi, peningkatan signifikan baru terjadi pada 2016.
Tren ini tergambarkan dari data Badan Pusat Statistik dan United States Department of Agriculture sampai Oktober 2018. Faisal mengatakan, puncak peningkatan impor gula terjadi pada tahun lalu. Saat itu, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara pengimpor gula terbesar sedunia menurut USDA dalam portal statistik, Statica.
"Kita melampaui Cina dan Amerika Serikat," ujarnya dalam konferensi pers Indef bertajuk Manisnya Rente Impor Gula di Jakarta, Senin (14/1).
Tiga tahun lalu, peningkatan paling tajam terjadi dari 3,38 juta ton pada 2015 menjadi 4,76 juta ton pada 2016. Pada 2017, impor gula ke Indonesia sempat turun menjadi 4,48 juta ton yang kemudian naik kembali menjadi 4,63 juta ton sepanjang 2018. "Angka itu stabil dalam nilai yang tinggi," ujar Faisal.
Kondisi tersebut kontras dengan konsumsi domestik yang tidak mengalami kenaikan secara signifikan. Produksi oleh petani lokal pun stagnan, bahkan cenderung turun. Salah satu penyebabnya, tingkat kesejahteraan petani menurun karena sulit menjual gula sendiri akibat persaingan dengan gula impor yang semakin membanjiri pasar.
Baca juga, Indef: Ada Keganjilan dalam Neraca Gula
Selain itu, Faisal menambahkan, peningkatan impor gula lebih cepat dibanding dengan peningkatan kebutuhan. Padahal, stok di gudang pabrik selalu berada di atas 1 juta ton sejak 2016, menurut data dari USDA.
Ekonom Indef Achmad Heri Firdaus mengatakan, impor gula tidak diiringi dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin). Selama ini, pemerintah selalu mengklaim, impor ini dilakukan untuk mendukung industri tersebut yang memang membutuhkan gula mentah dengan kualitas tinggi.
Heri mencatat, pertumbuhan industri mamin pada kuartal ketiga 2018 mengalami penurunan dibanding dengan kuartal ketiga pada 2017 secara year-to-year, yakni dari 8,92 persen menjadi 8,10 persen.
"Ini membuktikan, impor gula yang disebut untuk membantu industri mamin justru tidak memberikan pengaruh," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, keputusan impor gula sudah berdasarkan analisa bersama. Hasilnya, jumlah produksi gula nasional tidak mencukupi untuk konsumsi dan bahkan, industri.
Konferensi pers Institute for Development of Economic and Finance (Indef) di Jakarta, Senin (14/1).
Enggar mengatakan, permasalahan pasokan yang kurang juga diakibatkan banyaknya pabrik pemrosesan tebu menjadi gula yang tutup. Untuk menghindari harga pasaran melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) gula sebesar Rp 12.500 per kilogram, pemerintah memutuskan impor. "Sebab, kalau suplai berkurang, pasti harga akan naik," katanya pada konferensi pers di Gedung Kemendag pada Kamis (10/1).
Penyebab lain yang disebutkan Enggar adalah belum terpenuhinya kualitas produksi gula dalam negeri untuk kebutuhan industri. Kadar International Commision for Unifom Methods of Sugar Analysis/ ICUMSA gula petani lokal terbilang tinggi, sehingga warnanya tidak putih. Kondisi ini tidak sesuai dengan kriteria industri mamin yang membutuhkan gula dengan ICUMSA rendah.
Pada 2018, pemerintah menetapkan keputusan impor gula mentah 3,6 juta ton untuk kebutuhan industri rafinasi. Selanjutnya, pemerintah kembali memutuskan impor gula tambahan dengan tujuan memenuhi kebutuhan konsumsi pada periode Januari hingga Mei 2019 sebanyak 1,1 juta ton.