REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan tidak dinaikannya tarif cukai rokok sebanyak dua kali pada tahun 2018 dan 2019 adalah suatu kemunduran dari pemerintahan Indonesia sepanjang sejarah. Ia menilai cukai rokok merupakan instrumen paling penting dalam mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat.
Tulus menegaskan instrumen lain dalam upaya pengendalian tembakau seperti kawasan tanpa rokok atau pengendalian iklan rokok di media ataupun ruang publik pengaruhnya tidak sebesar cukai rokok. Lebih lanjut, ia mencatat pada 2017, kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen.
Namun, pada 2018 dan 2019 cukai rokok tidak dinaikkan sama sekali. "Baru terjadi dalam sejarah negeri ini cukai rokok tidak dinaikkan," ungkapnya di Jakarta, Jumat.
Tulus mengingatkan UU tentang Cukai mengamanatkan kenaikan cukai rokok sebesar 57 persen. Sementara itu, besaran cukai yang ada saat ini baru mencapai 38 persen.
Besaran tarif cukai tersebut juga semakin terlihat sangat murah jika dibandingkan dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang minimal sebesar 75 persen dari harga ritel.
Anggota Komnas Pengendalian Tembakau Jalal mengatakan kenaikan tarif cukai rokok harus sesuai dengan hasil survei yang pernah dilakukan tentang pada rentang harga berapa seseorang akan berhenti membeli rokok. Menurut dia, bila tarif cukai yang dinaikkan masih sama dengan besaran kenaikan pendapatan atau besaran kenaikan harga barang lainnya, itu tidak akan memberikan dampak yang signifikan bila tujuannya untuk menekan konsumsi rokok.
"Kalau rokok naik 10 persen, barang lain juga naik 10 persen. Sama saja," ujarnya.