Jumat 11 Jan 2019 16:12 WIB

'Ekspor ke Pasar Nontradisional Bersifat Jangka Pendek'

Indonesia akan bersaing ketat dengan negara lain dengan pemikiran serupa.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Ilustrasi ekspor impor.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Ilustrasi ekspor impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus memacu perluasan tujuan ekspor ke negara baru atau yang kerap disebut sebagai pasar nontradisional. Pada awal tahun ini saja, Kemendag sudah berencana menyelesaikan pakta perdagangan dengan Tunisia, Mozambik dan Maroko melalui skema Preferential Trade Agreement atau PTA.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, perluasan pasar ke negara dagang nontradisional dapat menjadi solusi jangka pendek dalam menghadapi dinamika perang dagang. "Khususnya ke negara-negara yang memang teridentifikasi terdampak perang dagang," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (11/1).

Bhima menyebutkan, Afrika juga menjadi negara dengan potensi besar untuk digandeng oleh pemerintah Indonesia. Minyak sawit dapat dijadikan sebagai komoditas andalan untuk diekspor ke sana, terutama ke Nigeria dan Kenya. Sementara itu, untuk negara di luar Afrika, pemerintah bisa mendorong produk lain seperti tekstil dan komponen otomotif.

Bhima mengatakan, Indonesia harus dapat memanfaatkan perjanjian perdagangan internasional dengan negara nontradisional yang juga sudah mulai menjadi fokus pemerintah. Baik itu melalui skema PTA, Free Trade Agreement ataupun Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). "Perjanjian ini dapat membantu Indonesia mengatasi hambatan ekspor seperti bea masuk  ke negara lain, sehingga harga produk kita bisa semakin bersaing," tuturnya.

Baca juga, Kemendag Targetkan Peningkatan Ekspor 7,5 Persen

Tapi, Bhima menekankan, upaya perluasan pasar ke negara dagang nontradisional ini merupakan solusi bersifat jangka pendek. Sebab, Indonesia akan mengalami persaingan ketat ketika negara lain memiliki pemikiran serupa, yakni penetrasi ekspor ke negara-negara baru tersebut. Khususnya ke Afrika yang kini sedang mengalami pertumbuhan penduduk relatif cepat, sehingga kebutuhan terhadap produk tertentu diprediksi meningkat.

Salah satu upaya yang disampaikan Bhima adalah memaksimalkan nilai tambah pada komoditas sumber daya alam. Selain itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) terus ditingkatkan seiring dengan penelitian dan pengembangan pada tiap industri. 

"Sejumlah poin ini menjadi kunci meningkatkan daya saing Indonesia di mata dunia dalam jangka panjang," katanya.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai, pertumbuhan nilai ekspor nonmigas di negara non tradisional dapat meningkat pada 2019. Optimisme ini diprediksi tercapai seiring dengan hasil yang didapatkan sepanjang 2018. Sebanyak tujuh negara nontradisional tujuan ekspor nonmigas mengalami peningkatan dibanding dengan 2017.

Dari tujuh negara tersebut, tiga di antaranya adalah Bangladesh, Turki dan Myanmar. Sepanjang Januari sampai November 2018, nilai ekspor Indonesia ke Bangladesh mencapai 1.619 juta dolar AS atau meningkat 15,9 persen. Sementara ke Turki adalah 1.107 juta dolar AS, meningkat 10,4 persen dan Myanmar menyentuh angka 835 juta dolar AS yang berarti tumbuh 17,3 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement