Kamis 10 Jan 2019 04:03 WIB

Pemerintah Revisi Aturan Kredit Pajak Luar Negeri

Revisi aturan berisi klarifikasi dan petunjuk detail penghitungan kredit pajak LN.

Red: Nur Aini
Pajak (Ilustrasi)
Foto: firstpost.com
Pajak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah merevisi aturan kredit pajak luar negeri untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian serta mendorong Wajib Pajak (WP)  mengklaim manfaat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

"Manfaat P3B ini antara lain dapat berupa pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah atau pembebasan dari pengenaan pajak di luar negeri. Oleh karena itu, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama dalam keterangan resmi, Rabu (9/1).

Peraturan tersebut mulai berlaku pada 31 Desember 2018 menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002. PMK ini memberikan klarifikasi dan petunjuk yang lebih detail mengenai tata cara penghitungan besarnya kredit pajak luar negeri yang dapat diakui dan tata cara pelaporannya. 

Secara garis besar, pengaturan yang terdapat dalam PMK-192 ini antara lain terkait penentuan negara sumber penghasilan luar negeri, jika sebelumnya belum diatur secara eksplisit, maka kini telah diatur. Sehingga diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum mengenai pengadopsian "per country limitation" atau penghitungan besarnya kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan dilakukan per jenis penghasilan dan per negara.

Terkait penentuan besarnya penghasilan luar negeri, jika sebelumnya juga belum diatur secara eksplisit, kini penghasilan luar negeri yang dimasukkan dalam penghasilan kena pajak adalah penghasilan neto. Sementara itu, terkait penentuan besarnya Pajak Penghasilan (PPh) Luar Negeri yang dapat dikreditkan, sebelumnya paling tinggi sama dengan jumlah pajak luar negeri, tetapi tidak dapat melebihi jumlah tertentu dan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak.

Saat ini, besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan yaitu yang paling rendah di antara jumlah pajak luar negeri, jumlah pajak luar negeri dengan memerhatikan ketentuan dalam P3B, dan jumlah tertentu, tetapi tidak dapat melebihi pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak. Sedangkan terkait pengaturan mengenai pengkreditan oleh suami-istri yang menjalankan kewajiban perpajakan secara terpisah, jika sebelumnya tidak diatur, kini kredit pajak ditentukan secara terpisah untuk masing-masing suami atau istri.

Kemudian, terkait persyaratan administratif, sebelumnya Wajib Pajak menyampaikan permohonan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh dengan melampirkan laporan keuangan, laporan pajak, dan dokumen pembayaran pajak di luar negeri. Kini, syarat dokumen yang dibutuhkan hanya bukti pembayaran atau bukti pemotongan pajak luar negeri, dan tidak ada kewajiban untuk melampirkan dokumen tersebut dalam SPT Tahunan PPh.

Lalu, terkait pengaturan mengenai kredit pajak luar negeri atas penghasilan dari "trust" yang tidak diatur sebelumnya, kini diatur secara spesifik di masing-masing pasal yang relevan. Terakhir, terkait kredit pajak atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, sebelumnya termasuk dalam cakupan KMK 164/200, kini tidak termasuk dalam cakupan PMK yang baru, tapi mengikuti ketentuan dalam PMK yang mengatur khusus tentang dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PMK Nomor 107/PMK.03/2017). 

"Sama seperti peraturan yang sebelumnya, kelebihan PPh luar negeri yang tidak dapat dikreditkan tidak diperkenankan untuk diperhitungkan sebagai pengurang pajak terutang, serta tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi," ujar Hestu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement