REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah ditutup melemah sore pada Selasa (8/1) sore. Dilansir Bloomberg, pelemahannya sebesar 65 poin atau 0,46 persen ke level Rp 14.148 per dolar AS.
Dengan begitu, mata uang Garuda tersebut kembali masuk ke level Rp 14.100 per dolar AS. Sebelumnya pada perdagangan kemarin, (7/1), rupiah menguat signifikan bahkan terus bertahan di level Rp 14.000 per dolar AS.
Pagi ini, nilai tukar rupiah terpantau masih di zona hijau dengan dibuka menguat 0,17 persen atau 24 poin ke level Rp 14.059 per dolar AS. Pada pukul 09.00 WIB, nilai tukar rupiah semakin menguat 49 poin atau 0,35 persen ke Rp 14.034 per dolar AS.
Tidak hanya rupiah, sejumlah mata uang negara di Asia juga terpantau melemah. Won Korea Selatan misalnya, melemah sebesar 0,46 persen terhadap dolar AS. Lalu yen Jepang melemah 0,1 persen.
Ekonom Maybank Myrdal Gunarto menilai, pelemahan rupiah dan mata uang Asia lainnya karena penguatan dolar AS secara global. "Sehingga mendorong aksi profit taking investor global di pasar keuangan domestik," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa, (8/1).
Ia menambahkan, beberapa sentimen global yang mendorong hal itu di antaranya saga perang dagang yang terus berlangsung. Ditambah, perkembangan geopolitik terkait Brexit.
"Kondisi pemerintahan AS yang masih shutdown juga termasuk sentimen global yang mendorong (pergerakan rupiah)," jelasnya. Sebelumnya ia memproyeksikan, bila kurs rupiah terus menguat maka bisa menembus level Rp 13.700 per dolar AS sampai Rp 14 ribu per dolar AS.
Analis Valbury Asia Futures, Lukman Leong mengatakan pelemahan rupiah lebih disebabkan faktor teknikal. Hal itu karena mata uang nasional telah menguat cukup tinggi sejak awal tahun ini.
"Rupiah melemah wajar, bukan disebabkan kekhawatiran terhadap ekonomi Indonesia. Namun, karena faktor teknikal. Mata uang di kawasan Asia lainnya juga mengalami hal sama," ujarnya.
Ia menilai peluang bagi rupiah untuk kembali terapresiasi masih cukup terbuka seiring harapan positif terhadap tercapainya kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat dan Cina. "Meredanya perang dagang akan mendorong pertumbuhan ekonomi global, termsauk Indonesia," katanya.