REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali berpendapat, untuk memahami kasus Freeport Indonesia harus dibedakan antara Freeport Indonesia sebagai perusahaan dengan kekayaan sumber daya alam Indonesia yang berisi komoditas mineral tambang. Dalam hal ini, tanah tambang yang ada di Papua masih dikuasai oleh Republik Indonesia.
Dengan demikian, sejak dahulu Indonesia mendapatkan uang konsesi, pajak, dan lainnya dari aktivitas pertambangan Freeport Indonesia. Adapun, Freeport Indonesia yang merupakan Perseroan Terbatas (PT) bukan aset negara.
"Saya berkali-kali ke sana untuk riset dan ikut upacara bendera di bawah tanah dan di puncaknya, maka kita jadi tahu bahwa ada perbedaan antara bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang memang milik kita dengan perusahaan tambang yang bernama Freeport, dan bukan milik kita," ujar Rhenald dalam keterangan tertulisnya, Ahad (23/12).
PT Freeport Indonesia (PTFI) memiliki modal, saham, expertise, teknologi, pasar, aset, dan lain sebagainya. Dengan demikian, PTFI bukan menjadi milik negara sehingga jika terjadi nasionalisasi, maka akan dibawa oleh pemiliknya. Adapun, jika pada 2021 Freeport angkat kaki dari Papua, maka semua aset dan teknologi yang dimilikinya akan dibawa pulang. Sementara, Indonesia hanya ditinggalkan tanah tambang yang terbengkalai.
"Kita tak pernah mendirikan Freeport, juga tak pernah taruh uang di perusahaan itu sehingga kita punya saham. Jadi kalau Freeport diusir atau berakhir (2021) yang kembali ke pangkuan kita ya cuma buminya saja, tanahnya. Lalu untuk eksploitasinya kita harus tanam modal juga bukan? Artinya keluar duit lagi, bukan?" kata Rhenald.
Menurut Rhenald, keberhasilan divestasi Freeport merupakan upaya pemerintah agar ada alih teknologi. Oleh karena itu, anak perusahaan BUMN harus didorong agar sehat dan siap berkompetensi.
"Justru kalau kita pernah melihat ke sana kita jadi mengerti beda antara PTFI dengan bumi itu. Karena yang kita mau kuasai bukan cuma buminya, tapi teknologinya, modalnya, jaringan pemasarannya, cara menambang skala besar, itulah maka kita minta mereka divestasi. Itulah makanya kita harus jadikan anak perusahaan BUMN kita yang sehat," ujar Rhenald.
Adapun tambang Freeport fase kedua ini ada di bawah tanah dengan cadangan yang cukup untuk 40-50 tahun ke depan. Namun, untuk masuk ke bawah tanah tersebut membutuhkan teknologi tinggi dan mahal. Menurutnya, jika kontrak karya Freeport berakhir pada 2021, maka mereka akan meninggalkan tambang yang terbengkalai, tanpa teknologi. Sedangkan, teknologi yang dimiliki Indonesia mungkin masih belum mumpuni.
"Kalau kita pernah ke sana akan mengerti Freeport itu sebuah kesatuan global, yang kuasai teknologi tingkat tinggi dgn R&D dalam bidang pertambangan yang luar biasa. Untuk eksploitasi tambangnya, butuh alat berat yang tak pernah kita lihat di Pulau Jawa sekalipun, kendaraan untuk membawa pegawainya ke area tambang pun harus yang ber-CC tinggi, 3000-5000 CC, juga harus antipeluru karena sering didor penembak liar, atau pakai heli Puma yang harganya triliunan rupiah," kata Rhenald.
Rhenald meyakini, divestasi ini telah dipikirkan secara matang oleh pemerintah. Sebab, menganalisis Freeport cukup kompleks, yakni gabungan makro-mikro, corporate finance dan fiscal policy, hingga masalah hukum dan lingkungan hidup, antara kepentingan domestik dengan global value chain. Belum lagi, kasus Freeport ini dapat menimbulkan dampak politis.
"Lucu juga logika pengamat-pengamat yang mungkin khilaf sampai begitu nafsunya mengatakan bangsanya goblok, padahal negosiater kita telah membuat pusing petinggi Freeport dengan deal yang katanya hebat. Mereka salah ngukur karena sekarang menteri-menteri kita jago dan rata-rata pejabatnya PhD pula lulusan University Illinois plus UI, ITB, UGM, UNAIR," ujar Rhenald.