Jumat 14 Dec 2018 17:04 WIB

OJK akan Cabut Izin Fintech yang Langgar Aturan

OJK hanya butuh satu korban dengan alat bukti sah dan meyakinkan untuk mencabut izin

Fintech Lending. Ilustrasi
Foto: Google
Fintech Lending. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan secara tegas mencabut izin atau tanda terdaftar perusahaan financial technology (fintech) yang melanggar ketentuan dan merugikan konsumen. Hingga kini OJK menerima aduan 1.330 korban pengguna pinjaman online yang ditampung Pos Pengaduan Korban Pinjaman Online oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

"Siapapun yang bersalah harus mendapatkan tindakan yang jelas. Kalau ada fintech lending kami yang terbukti melakukan pelanggaran, kami tidak ada keraguan untuk mencabut tanda terdaftarnya," kata Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (14/12).

Hendrikus menjelaskan bahwa jumlah perusahaan fintech pinjam meminjam (fintech lending) yang terdaftar di OJK saat ini sebanyak 78 perusahaan. LBH Jakarta telah memberikan inisial 25 perusahaan fintech yang diduga melakukan pelanggaran hukum.

Hendrikus berharap LBH Jakarta dapat membantu dan memberi masukan kepada OJK supaya bisa memperbaiki dan mengembangkan industri fintech. Untuk kepentingan tersebut, OJK meminta alat bukti dari para korban. Namun, LBH Jakarta belum memberikan data-data tersebut karena adanya kesepakatan kerahasian klien.

"Kalau sudah dapat data lengkap, OJK akan investigasi. Kami meyakinkan supaya tidak ada yang menumpang isu, tidak boleh ada kepentingan lain selain perlindungan konsumen," ujar Hendrikus.

Ia menjelaskan bahwa OJK hanya butuh satu korban saja yang membawa alat bukti yang sah dan meyakinkan untuk melakukan tindakan pencabutan tanda terdaftar perusahaan fintech yang melanggar hukum. Dalam kesempatan yang sama, pengacara publik LBH Jakarta, Yenny Silvia Sari Sirait, menjelaskan pihaknya belum bisa memberikan data karena pada formulir pengaduan dijelaskan bahwa profil dan data korban yang mengadu dirahasiakan.

"Untuk memberikan data, kami harus izin dulu kepada korbannya. Kalau tidak, kami bisa saja berpotensi melakukan penyebaran data pribadi, kami harus izin dulu," ujar dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement