REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho mengatakan, implementasi kebijakan revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) dalam paket ekonomi XVI perlu dilakukan secara hati hati. Bahkan, apabila perlu, tentu dapat dikaji ulang. Sebab, kebijakan ini berpotensi menjadi ancaman bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di beberapa sektor.
Andry menjelaskan, ancaman itu bukan tanpa sebab. Sekitar 25 sektor dibuka untuk penanaman modal asing menjadi 100 persen, termasuk sektor kreatif dan pariwisata, yang saat ini banyak dikembangkan para pelaku UMKM Indonesia. "Ini yang menurut saya juga menjadi kekhawatiran asosiasi, apalagi sebelumnya keputusan ini tidak membuka komunikasi (public hearing) kepada asosiasi sebelum kebijakan dikeluarkan," ujarnya ketika dihubungi Republika, Ahad (25/11).
Andry menilai pemerintah terburu-buru terhadap revisi DNI dengan tujuan penambahan kontribusi PMA pada sektor-sektor ini. Sebab, dari data yang ada, realisasi investasi PMA Indonesia pada kuartal-III 2018 cukup rendah dan bahkan lebih rendah dari Penerimaan Modal Dalam Negeri (PMDN).
Apabila tidak dikaji ulang, dikhawatirkan justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan industri dalam negeri. Sebab, Andry menjelaskan, revisi itu tentu tidak bisa dirubah lagi dengan mengurangi kontribusi oleh PMA. "Apabila sudah dibuka seluruhnya kepada PMA tentu tidak bisa diproteksi kembali," katanya.
Apabila ingin meningkatkan PMA, Andry menilai, pemerintah tidak perlu melakukan revisi DNI melainkan cukup melakukan tiga hal. Pertama, menyediakan informasi infrastruktur pasar dari permintaan di dalam negeri dan global. Selain itu, pemerintah sebaiknya juga menyajikan informasi infrastruktur suplai seperti akses kepada harga energi dan logistik yang terjangkau.
Terakhir, menyelesaikan proses birokrasi dan perizinan yang kerap dikeluhkan para pengusaha lokal maupun asing. Inovasi seperti online single submission (OSS) yang digadangkan pemerintah juga nyatanya masih menimbulkan masalah. Andry mengatakan, infrastruktur mendasar inilah yang seharusnya diperhatikan pemerintah dibanding merevisi DNI.
Untuk memproteksi UMKM, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, melihat kebutuhan UMKM yang paling besar, yakni akses modal. Menurut Andry, poin ini perlu difasilitasi dengan bantuan kredit murah di tengah mahalnya bunga pinjaman sekarang.
Kedua, memberikan fasilitas kemudahan ekspor. Selain memberikan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), pemerintah juga perlu meniru Cina dengan mencari ceruk pasar yang potensial. "Pemerintah bisa melihat potensi pasar di luar negeri, market intelligence pemerintah harus kuat, sehingga kita bisa memberikan informasi kepada UMKM mengenai produk apa yang permintaan ke depan akan tinggi," kata Andry.
Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia (ASPPHAMI) meminta pemerintah untuk menunda diberlakukannya DNI terhadap sektor industri pelayanan pengendalian hama/fumigasi. Sebab, dengan memungkinkan investasi masuk hingga 100 persen bagi asing di sektor itu dinilai dapat mengecilkan porsi pelaku usaha lokal.
Ketua Umum ASPPHAMI Boyke Arie Pahlevi menjelaskan, pihaknya sangat keberatan dengan dikeluarkannya DNI untuk sektor ini. "Hal ini mengingat mayoritas pelaku usaha pest control (pengendalian hama) 99 persen adalah UMKM yang seharusnya dilindungi pemerintah," ujarnya di Jakarta, Rabu (21/11).
Selama ini, Boyke menambahkan, pihaknya melakukan upaya untuk membangun sistem manajemen konvesional yang dilakukan UMKM agar semakin berkembang. Seharusnya, upaya tersebut didukung penuh oleh pemerintah melalui perlindungan dan pembinaan.
Boyke menuturkan, asosiasi membuka lebar-lebar akan hadirnya investasi, baik asing maupun lokal, agar industri jasa pengendalian hama semakin maju. Tapi, pola kemitraan dengan UMKM yang sudah ada dapat menjadi pilihan yang baik bagi keberlangsungan usaha juga untuk lebih menggairahkan sektor ini. "Sebab, sebenarnya potensi pasarnya cukup besar," katanya.
Senada dengan ASPPHAMI, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani sudah menyatakan permintaannya kapada pemerintah untuk menunda penerapan kebijakan relaksasi DNI 2018. Penundaan dianjurkan berlaku sampai ada dialog dan masukan yang mewakili kepentingan pelaku usaha.
Menurut Rosan, keluarnya kebijakan relaksasi DNI terjadi tanpa dialog atau konsultasi untuk mendengarkan masukan Kadin. "Detil masukannya akan kami sampaikan nanti, setelah dibahas bersama asosiasi pengusaha. Karena itu kami berharap pemerintah bisa menunda penerapan DNI," katanya.