Jumat 23 Nov 2018 16:36 WIB

Kementerian BUMN Segera Bentuk Tim Privatisasi Merpati

Nilai dan jumlah saham yang diprivatisasi ditentukan Kemenko Perekonomian.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah pesawat terbang milik maskapai Merpati Nusantara Airlines terparkir di Pusat Perawatan Pesawat Merpati Nusantara Airlines, Lapangan Udara Djuanda, Sidoarjo, Jawa Timur,
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Sejumlah pesawat terbang milik maskapai Merpati Nusantara Airlines terparkir di Pusat Perawatan Pesawat Merpati Nusantara Airlines, Lapangan Udara Djuanda, Sidoarjo, Jawa Timur,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) segera membentuk tim privatisasi untuk PT Merpati Nusantara Airlines. Hal itu dilakukan setelah Kementerian BUMN memastikan Maskapai Merpati akan dilepas ke swasta.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K Ro menjelaskan setelah terbentuk, tim dapat melakukan beberapa hal untuk proses privatisasi maskapai Merpati. Salah satunya untuk mengetahui kemampuan investor. 

Untuk menentukan berapa persen privatisasi tersebut, menurut Aloy yang menentukan Kementerian Koordinator Bidang perekonomian. Dengan begitu, Aloy menegaskan Kementerian BUMN belum membicarakan soal porsi saham dan strukturnya. 

"Yang jelas kita mengundang strategi investor seperti amanah dari putusan Pengadilan Niaga Surabaya," tutur Aloy. 

Aloy memastikan proses privatisasi Maskapai Merpati kurang lebih bisa selama satu tahun. Untuk itu dalam waktu dekat Kementerian BUMN baru akan membuat tim privatisasi terlebih dahulu. 

Merpati optimistis akan kembali terbang pada 2019. Presiden Direktur Merpati Airlines Asep Ekanugraha mengaku ada banyak kesalahan dan persoalan masa lalu yang membuat Merpati berhenti beroperasi seperti saat ini. Hanya saja, kata Asep, ke depan Merpati akan menjadi maskapai baru yang bisa menjadi tumpuan dan branding negara.

Asep tak menampik persoalan kerugian keuangan yang saat ini harus ditanggung Merpati adalah kesalahan yang menumpuk dan menahun. Persoalan insefisiensi, kualitas pesawat hingga persoalan manajemen menjadi persoalan mengakar sehingga perusahaan harus berhenti beroperasi.

"Ini culture sickness yang kami tentu belajar, dan kami tentu tidak ingin jika culture ini kembali hidup jika merpati kembali terbang," ujar Asep di Grand Melia, Ahad (11/11).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement