REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah ditutup stagnan sore ini, Senin, (22/10). Berdasarkan data Bloomberg, mata uang Garuda tersebut berada di posisi Rp 15.187 per dolar AS sejak siang tadi.
Pada pagi hari, rupiah dibuka melemah 12 poin atau 0,09 persen di level Rp 15.200 per dolar AS. Kemudian di akhir perdagangan sesi I, berada di posisi Rp 15.190 per dolar AS.
Sementara itu, berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di posisi Rp 15.192 per dolar AS. Angka tersebut menguat dibandingkan posisi pada Jumat lalu di Rp 15.221 per dolar AS.
Ekonom sekaligus Corporate Secretary Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto menilai, tekanan terhadap kurs rupiah memang dominan karena faktor eksternal. Hal itu terutama isu kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang cukup agresif dan fakta perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina.
"Dari dalam negeri memang ada faktornya juga, yakni DTB (Defisit Transaksi Berjalan) atau CAD (Current Account Deficit) yang melebar. Pelebaran mendekati batas maksimal tiga persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto Indonesia," ujar Ryan kepada Republika.co.id, Senin.
Lebih lanjut menurutnya, Bank Indonesia (BI) sudah tepat dan taktis menerapkan kebijakan moneter ketat diperkuat dengan kebijakan makroprudensial. Intervensi BI ke pasar uang pun sudah dilakukan.
"Tapi semua ini tidak cukup, karena trade balance Indonesia masih defisit. Jadi yang harus dilakukan adalah dorong ekspor sebesar-besarnya dan kurangi impor barang-barang nonproduktif sebesar-besarnya juga agar tercipta surplus berkelanjutan," tutur Ryan.
Pengusaha noneksportir pun, kata dia, sebaiknya tidak meminjam dalam kura dolar AS, melainkan dalam rupiah. "Pengusaha juga harus disiplin melakukan lindung nilai atau hedging jika sering bertransaksi menggunakan valuta asing (dolar AS). Penting pula bagi pemerintah untuk meyakinkan semua investor bahwa investasi di Indonesia aman dan menguntungkan," katanya.