REPUBLIKA.CO.ID, TAMIANG LAYANG -- Pemerintah Indonesia dan Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah terancam membayar denda Rp 7,7 triliun. Uang denda tersebut harus dibayar pemerintah apabila kalah dalam sidang arbitrase yang diajukan oleh India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA).
"Kasus yang bergulir sejak 2010 itu, diduga akibat terjadi tumpang tindih lahan izin usaha pertambangan (IUP) PT Sumber Rahayu Indah (SRI) di Kabupaten Barito Timur dengan IUP lainnya," kata Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah Rudi Yulianto saat berada di Tamiang Layang, Jumat (19/10).
Menurut Rudi, pihaknya tetap mengharapkan menang pada sidang arbitrase nanti. Berkaitan data, dia tidak bisa menjelaskan itu semua, karena semua ada pada Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Semua hasil data seperti bahan keterangan dan data yang didapat JPN tentang perizinan PT SRI, akan dibawa ke persidangan arbitrase yang akan dilaksanakan di Belanda. Setelah adanya sidang lanjutan tersebut, akan ada putusan sidang terkait gugatan arbitrase tersebut.
"Harapannya menang. Mudah-mudahan ya," kata Rudi sembari mengapresiasi upaya Bupati Barito Timur Ampera AY Mebas dalam mendukung pengumpulan data terkait perizinan PT SRI.
Sebelumnya, JPN telah memanggil mantan-mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi berinisial S, MY, MR, M dan YS untuk menghadap JPN di Kejaksaan Negeri Kabupaten Barito Timur. Dalam panggilan JPN, MY tidak bisa hadir untuk dilakukan klarifikasi terkait perizinan PT SRI. MY tidak hadir tanpa keterangan.
Kini, JPN terus memanggil satu per satu mantan pejabat mulai dari kepala seksi hingga kepala dinas pada Dinas Pertambangan Barito Timur untuk mengumpulkan keterangan dan bahan yang diperlukan untuk sidang arbitrase di Belanda nanti.