REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan, Sri Mulyani memprediksi kondisi perang dagang kedepan akan mempengaruhi kondisi pertumbuhan ekspor negara pada 2019 mendatang. Apalagi, kata Sri Mulyani depresiasi rupiah yang mencapai 12 persen juga belum tentu bisa mendongkrak penerimaan dari ekspor.
Sri Mulyani mengatakan dengan kondisi tersebut maka pertumbuhan ekspor tahun depan tidak akan mencapai lebih dari 7 persen. Ia memprediksi pertumbuhan ekspor hanya akan berada di angka 6,28 persen.
"Tetapi kapasitas industri manufaktur untuk bisa mengkapitalisasi ini, dan seperti yang saya sampaikan, growth untuk tahun depan diperkirakan melemah karena adanya potensi perang dagang sehingga ekspor sepertinya tidak akan melonjak di atas 7 persen tetapi tetap di kisaran 6,28 persen," ujar Sri Mulyani di Banggar, Selasa (16/10).
Tak hanya ekspor saja, kata Sri dampak perang dagang juga akan mempengaruhi pertumbuhan investasi. Hal ini juga berkaca pada pertumbuhan investasi di kuartal II dan III 2018 yang tidak menunjukan pertumbuhan yang signifikan.
"Kalau kita lihat di 2018 terutama berpengaruh di kuartal kedua dan kuartal ketiga, dan kalau kita lihat disini yang akan terpengaruh adalah pada PMTB atau investasi. Dalam hal ini kita harapkan bisa diatas 7 persen atau tetap flat 6,7 atau 6,9 di tahun depan," ujar Sri Mulyani.
Namun, meski akan menghadapi kondisi diatas, pemerintah kata Sri Mulyani tetap akan menggenjot potensi ekspor untuk bisa menjaga neraca perdagangan. Sri Mulyani menjelaskan potensi CPO yang harganya mulai membaik kedepan bisa menjadi salah satu faktor penyeimbang neraca kedepan.
"Yang menjadi factor positif terhadap kurs kita, adalah harga komoditas ekspor Indonesia, terutama CPO. Yang mendukung peningkatan trade balance Indoneisa. Rill efektif exchange rate kita yang masih valued, sehingga masih memiliki potensi upside menguat dan transaksi berjalan Indonesia, yang terus diupayakan oleh pemerintah," ujar Sri Mulyani.