REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah berharap bisa menurunkan tingkat impor dalam industri bahan baku makanan dan minuman hingga 10 persen dalam lima tahun mendatang. Saat ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, sebanyak 70 persen komoditas dalam industri tersebut diimpor dan bisa menjadi setidaknya 60 persen hingga tahun 2023.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kemenperin Enny Ratnaningtyas mengatakan, rencana penurunan tingkat impor sudah mulai dijalankan oleh industri kecil. Secara perlahan, mereka mulai memaksimalkan potensi komoditas dalam negeri, yakni rempah-rempah.
Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, industri kecil juga mengolah rempah guna dikirimkan ke luar negeri seperti gula semut. "Produk ini sudah mulai ekspor ke Eropa dan beberapa negara. Kami juga sempat membawa pameran ke luar negeri dan banyak peminatnya," ujar Enny saat ditemui ketika ditemui di acara Pameran Food Ingredients Asia 2018 di Kemayoran, Jakarta, Rabu (3/10).
Menurut Enny, rempah-rempah menjadi komoditas yang memiliki potensi terbesar untuk diekspor. Sebab, Indonesia memiliki kekayaan rempah yang tinggi dibanding dengan negara lain. Pekerjaan terbesar sekarang adalah meningkatkan mutu dan mencoba menyesuaikan kebutuhan dengan industri.
Kemampuan ekstraksi bahan alam juga harus mulai ditingkatkan. Selama ini, bisnis ekstraksi masih dikuasai Eropa, termasuk Jerman. "Kita memang masih impor, tapi kemungkinan dapat diinvestasi di Indonesia. Potensinya besar itu," ucap Enny.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman menjelaskan, industri ekstraksi di Indonesia memang sudah mulai tumbuh. Dari hanya satu dan dua perusahaan, kini sudah tujuh perusahaan yang ekstraksi dari bahan pertanian bahkan limbah, termasuk kulit manggis dan kunyit.
Adhi menyebutkan, minyak cengkeh menjadi komoditas yang patut diperhatikan. Sebab, 50 persen supplai dunia berasal dari Indonesia yang digunakan untuk berbagai produk. "Termasuk minuman bersoda dan masih banyak lagi," ujarnya.
Terkait impor, Adhi menambahkan, perkembangan teknologi pengolahan juga masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Selama ini, produk-produk yang diekstrak dari ikan asal Indonesia justru diolah di luar negeri.
Hal yang sama juga tejradi pada rumput laut. Indonesia dikenal sebagai penghasil rumput laut terbesar. Tapi, ketika sudah dikeringkan, komoditas tersebut diekspor ke Cina untuk diolah yang kemudian diimpor lagi dalam bentuk karagenan dengan harga lebih mahal. "Kalau di sini bisa dikembangkan, akan lebih menguntungkan," kata Adhi.