Selasa 02 Oct 2018 07:30 WIB

Peningkatan Produksi Minyak OPEC Dibatasi Pengurangan Iran

12 negara OPEC yang terikat perjanjian pembatasan memangkas produksi mereka.

Kilang minyak Iran.
Foto: Iranian Presidency Office via AP
Kilang minyak Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mencatat peningkatan produksi minyak terbatas pada September. Hal ini didorong oleh pengurangan pasokan Iran akibat sanksi-sanksi Amerika Serikat (AS) mengimbangi produksi yang lebih tinggi di Libya, Arab Saudi dan Angola.

Survei Reuters pada Senin (1/10) menunjukkan, OPEC yang beranggotakan 15 negara itu memproduksi 32,85 juta barel per hari pada September. Jumlah ini naik 90 ribu barel per hari dari tingkat direvisi Agustus dan tertinggi tahun ini.

Akan tetapi, 12 anggota OPEC yang terikat dengan perjanjian pembatasan pasokan benar-benar memangkas produksi sebesar 70 ribu barel per hari. Hal ini karena penurunan di Iran dan Venezuela, meningkatkan kepatuhan terhadap target pasokan hingga 128 persen dari revisi 122 persen pada Agustus, survei tersebut menemukan.

Harga minyak telah memperpanjang reli tahun ini karena ekspektasi sanksi-saksi terhadap Iran akan menguji kemampuan OPEC untuk mengganti kekurangannya. Meskipun, kelompok itu setuju pada Juni untuk memproduksi lebih banyak menyusul tekanan dari Presiden AS Donald Trump. Minyak Brent pada Senin (1/10) mencapai 83,32 dolar AS per barel, tertinggi sejak 2014.

"Situasi pasokan memang terlihat rapuh, karena setiap pengurangan tambahan seperti kemerosotan situasi di Venezuela akan memperketat pasokan minyak," kata Norbert Rücker di Julius Baer.

Perjanjian OPEC pada Juni melibatkan OPEC, Rusia dan nonanggota lainnya kembali ke kepatuhan 100 persen dengan pengurangan produksi minyak dimulai pada Januari 2017. Di tempat lain, kepatuhan didorong di atas 160 persen.

Sementara, Arab Saudi kini hampir sepenuhnya membalikkan pasokan yang dijanjikan sebesar 486 ribu barel per hari. Namun, ini belum sepenuhnya mengimbangi pengurangan di Iran serta penurunan produksi di Venezuela dan Angola.

Peningkatan terbesar bulan lalu berasal dari Libya. Produksinya mencapai rata-rata di atas satu juta barel per hari. Produksi Libya tetap berfluktuasi karena kerusuhan, memunculkan pertanyaan tentang stabilitas produksi OPEC saat ini.

Angola, di mana penurunan alami di ladang-ladang minyaknya telah membatasi produksi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, akhirnya negara ini meningkatkan pasokannya pada September karena produksi dari ladang baru, Gindungo. Produksinya masih jauh di bawah target OPEC.

Pasokan di Nigeria naik 50.000 barel per hari. Negara ini seperti Libya yang dibebaskan dari perjanjian pemotongan pasokan OPEC karena produksinya sering dibatasi oleh pemadaman tidak direncanakan akibat kerusuhan dan konflik. 

Di antara negara-negara dengan produksi yang lebih rendah, penurunan terbesar 100 ribu barel per hari dialami oleh Iran. Ekspornya turun karena penerapan kembali sanksi-sanksi AS membuat perusahaan-perusahaan enggan membeli minyak negara tersebut.

Produksi minyak juga merosot lebih jauh di Venezuela, di mana kurangnya dana-dana untuk industri minyak akibat krisis ekonomi telah mengurangi operasi kilang-kilang dan ekspor minyak mentah. Produksi Irak turun lebih rendah karena ekspor dari bagian selatan negara itu tidak bertahan pada tingkat rekor selama sebulan penuh.

Meskipun terjadi penurunan-penurunan, produksi OPEC pada September telah meningkat ke tingkat tertinggi sejak September 2017. Ini sebagian mencerminkan penambahan Republik Kongo ke OPEC pada Juni, tidak hanya meningkat oleh anggota-anggota yang ada.

Sebelum Kongo bergabung, OPEC memiliki target produksi tersirat untuk 2018 sebesar 32,78 juta barel per hari.

Menurut survei, OPEC memproduksi sekitar 230 ribu barel per hari di bawah target tersirat pada September.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement