REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan produksi dan pasokan jagung tahun ini surplus 12 juta ton pipilan kering (PK). Hal itu dikatakan Direktur Serealia, Ditjen Tanaman Pangan Kementan, Bambang Sugiharto menanggapi berita kondisi supply jagung nasional.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, realisasi luas tanam Juni hingga September 2018 seluas 1.318.284 hektare, dengan perkiraan panen September hingga Desember seluas 1.263.170 hektare. Dari perhitungan tersebut, diperkirakan produksi yang dihasilkan 7,18 juta ton PK. Dari sisi konsumsi, diperkirakan pada bulan tersebut kebutuhan mencapai 5,13 juta ton PK, terdiri dari konsumsi langsung, industri pakan, peternak layer, industri pangan lainnya, dan produksi benih.
"Artinya dari hitungan itu saja, kita masih ada surplus 2,05 juta ton PK periode September sampai Desember. Kondisi tersebut menunjukkan suplai jagung akan tetap aman sampai akhir tahun," kata Bambang saat diwawancara di kantornya, Jumat (28/09).
Menurut Bambang, pemantauan di lapangan posisi panen besar sudah mulai terjadi di berbagai daerah antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Bahkan, survei bersama tim satgas pangan dengan tim Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan pada awal September menunjukkan panen sudah mulai terjadi besar-besaran di Kabupaten Bantaeng dan Jeneponto.
Panen di Sulsel diperkirakan mencapai 25 ribu hektare pada bulan ini. Total produksi September di Sulsel diperkirakan 87 ribu ton. Sedangkan di Jawa Timur, Oktober hingga November panen jagung diperkirakan akan mencapai berturut turut 79 ribu ha dan 111 ribu ha. Total produksi Jawa Timur dua bulan ke depan diperkirakan mencapai 320 ribu ton dan 699 ribu ton.
Berdasarkan perhitungan Kementan, dari data SP BPS-Percepatan Penyediaan Data (PPD) yang di update setiap bulan, periode September-Oktober, dipredikasikan akan ada panen seluas 540 ribu hektare. Panen jagung di bulan September tersebar di beberapa wilayah sentra seperti Tuban, Sumbawa, Janeponto dan Bantaeng.
Bambang mengatakan, panen dan produksi jagung berlangsung sepanjang tahun. Siklus tahunan produksi jagung menunjukkan puncak panen utama terjadi pada Februari-April, puncak panen ke dua pada Juli-Agustus dan puncak panen ke tiga pada Oktober-Desember awal.
“Pemantauan tim dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menunjukkan panen jagung akan meluas lagi pada bulan Oktober hingga awal Desember. Periode ini merupakan puncak panen ke 3 dalam tahun ini. Pengamatan kita selama ini juga menggunakan drone sehingga benar-benar dapat terpetakan secara utuh sebaran luas pertanaman jagung,” ujar Bambang lebih lanjut.
Besarnya produksi jagung ini juga didorong oleh pengalokasian 2,8 juta hektare benih jagung premium telah. Sampai Bulan Agustus pertanaman jagung sudah mencapai 3,02 juta hektare, dimana 16,61% diantaranya adalah program bantuan Kementan. "Kekeringan yang terjadi saat ini juga tidak menjadi kendala pada pertanaman jagung, karena konsentrasi penanaman saat ini pada lahan-lahan bekas sawah yang masih memiliki kelembaban cukup untuk ditanam jagung," tambah Bambang.
Menjembatani Disparitas Harga
Harga jagung di pasaran juga tidak seperti yang marak diberitakan. Berdasarkan informasi dari Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Gatut Sumbogodjati, pada September harga jagung hanya sekitar Rp3.691 bahkan tiga bulan yang lalu harga jagung sempat turun di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara hingga Rp2.887.
Bambang meyakini harga jagung yang disebut meningkat akhir-akhir ini bukan karena kekurangan stok. Pasalnya, harga di tingkat petani ditambahkan dengan biaya processing dan penyusutan bobot akibat pengeringan sebesar 15 persen, harga jagung di pengguna akhir tidak lebih dari Rp 4.250 per kg. Hal ini menunjukkan disparitas harga di petani dan di industri yang menjadi indikasi diperlukannya pembenahan rantai pasok jagung.
“Persoalan jagung bukan hanya masalah produksi. Kenapa pada saat harga tinggi banyak yang komplain masalah produksi. Padahal jelas-jelas data menunjukkan produksi kita surplus. Jadi yang harus kita garisbawahi adalah persoalan konektivitas sentra produksi ke pengguna jagung yang memusat di beberapa provinsi saja,” tambah Bambang.
Untuk mengatasi hal tersebut, Kementan berinisiatif menyediakan seribu alat pengering (dryer) untuk pengolahan pascapanen, agar jagung bisa disimpan dan ditransportasikan dengan baik sehingga bisa meminimalisir terjadinya disparitas harga. Di Indonesia kapasitas pengeringan industri pakan masih rendah karena sebagian masih belum memiliki dryer atau ruang penyimpanan yang cukup besar.
Bambang mengapresiasi pengusaha yang saat ini bergerak di segmen tengah yang menghubungkan petani produsen dengan end user. Ada sejumlah perusahaan seperti PT Seger Agro Nusantara, PT Harim, PT Bumi Universal yang menjadi simpul utama dalam supply chain rantai pasok jagung. Pemerintah berharap akan banyak lagi pengusaha yang bergerak di segmen tengah ini karena sangat menolong dalam memproses dan mengalirkan jagung dari petani hingga pengguna akhir karena mampu meningkatkan daya serap jagung dari petani.
"Ke depan kita berharap pengguna jagung seperti industry pakan berinvestasi untuk meningkatkan kapasitas dryer dan storagenya dua sampai tiga kali dari kapasitas yang terpasang sekarang. Sehingga industry pakan bisa menyimpan jagung hingga untuk kebutuhan 6 bulan. Dengan cara demikian selain diperoleh jaminan suplai juga bisa dicapai stabilisasi harga antara off season dan peak season," tutur Bambang.
Kementerian Pertanian akan senantiasa membantu industri pakan atau pengguna lainnya yang kesulitan mencari jagung. Pengguna yang kesulitan mendapatkan jagung dapat langsung berkomunikasi dengan Direktorat Serealia Kementan. Dalam jangka panjang, Kementan menyatakan siap mendampingi terbentuknya kemitraan Business to Business antara industri pakan dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sehingga industri mendapat jagung sesuai spesifikasi yang diinginkan dan pasokan jagungnya terjamin.