REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebutkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang pada pekan lalu hampir menyentuh Rp 15 ribu per dolar AS, memang perlu diwaspadai. Namun hal itu tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
"Depresiasi peso Argentina mencapai 49,62 persen, depresiasi lira Turki 40,7 persen, sedangkan depresiasi rupiah year to date 8,5 persen. Menurut saya, ini hanya ketakutan berlebihan, tapi harus waspada, iya," kata Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir dalam diskusi "Bersatu untuk Rupiah" di Jakarta, Senin (10/9).
Iskandar menuturkan, fundamental perekonomian Indonesia masih lebih baik dibandingkan Turki dan Argentina, terutama inflasi yang terkendali di level 3-4 persen dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi dari Januari hingga Agustus 2018 hanya mencapai 2,13 persen.
"Kita baru khawatir kalau inflasi kita tinggi. Kekhawatiran fundamental kita itu rapuh, tidak pas," ujar Iskandar.
Baca juga, Rupiah Melemah, Menkeu: Kita Seleksi Impor.
Ia pun menyinggung soal defisit neraca transaksi berjalan yang tercatat delapan miliar dolar AS atau 3,04 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih tinggi dibandingkan defisit triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS atau 2,21 persen dari PDB dan melewati batas aman defisit transaksi berjalan yaitu tiga persen.
Menurut Iskandar, setiap triwulan kedua, defisit neraca transaksi berjalan, memang cenderung tinggi seperti pada triwulan II 2014 yang mencapai 4,24 persen.
"Pada kuartal kedua kita kemarin kan banyak repatriasi keuntungan, makanya neraca pendapatan primer kita defisit cukup besar. Tapi, current account deficit 3,04 persen itu bukan kiamat, bukan merupakan suatu krisis," kata Iskandar.
Walaupun pada triwulan kedua 2018 defisit transaksi berjalan sudah mencapai batas maksimal yang dianggap aman yaitu tiga persen, namun jika dihitung per semester I 2018, defisit transaksi berjalan sebenarnya baru mencapai 2,6 persen dari PDB.
Kendati demikian, Iskandar mengakui defisit neraca perdagangan Indonesia perlu menjadi perhatian. Oleh karena itu, pemerintah bersama Bank Indonesia juga melakukan berbagai upaya strategis untuk mengurangi impor dan meningkatkan ekspor.
"Kondisi global yang penuh ketidakpastian ini berpengaruh ke negara kita. Tapi, kita perlu waspada juga karena neraca dagang kita memang negatif. Kalau defisit transaksi berjalan memang sudah biasa, setiap triwulan kedua selalu defisitnya besar. Tapi defisit neraca perdagangan 3,1 miliar dolar di tengah ketidakpastian ini memang harus kita tangani," kata Iskandar.
Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah pada Senin mencapai Rp14.835 per dolar AS, menguat dibandingkan hari akhir pekan lalu tau Jumat (7/9) Rp14.884 per dolar AS.