REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak proklamasi kemerdekaan hingga hari ini, nilai tukar rupiah sudah merosot puluhan ribu persen. “Nilai tukar rupiah kita merosot terus dan akan terus merosot, karena cadangan devisa kita tidak pernah cukup kuat untuk menopang mata uang kita,” kata Ketua Dewan Penasehat Kadin Kelautan dan Perikanan, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (8/9).
Ia menambahkan, saat ini sawit dan produk oleochemical adalah penghasil devisa terbesar, setelah itu pariwisata, tekstil dan garmen. Mengutip data BPS dan Kementerian Perindustrian tahun 2017, peringkat berikutnya diduduki oleh ekspor migas, batubara, jasa TKI, elektronik, hasil kayu hutan, karet, serta sepatu dan sandal.
Menurut Rokhmin, pada tahun 2014 ekspor produk perikanan Indonesia berada pada peringkat ke-6 dari 10 besar penghasil devisa. Sejak tahun 2015 hingga 2018, ekspor perikanan tidak masuk lagi pada 10 besar komoditas penghasil devisa Indonesia.
Turunnya peringkat ekspor perikanan, kata dia, disebabkan karena anjloknya hasil produksi komoditas-komoditas tuna, cakalang, kepiting hidup hasil budidaya, kerapu hidup hasil budidaya, udang hasil tangkapan di Arafura dan tilapia.
Anjloknya produksi perikanan, kata Rokhmin, disebabkan oleh berbagai aturan pemerintah, cq Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang kontra-produktif, seperti moratorium perpanjangan izin kapal nelayan yang diimpor secara legal, larangan trans-shipment, larangan pengiriman kepiting ukuran tertentu dan betina, hambatan akses kapal buyer ikan kerapu hidup hasil budidaya, moratorium dan penutupan KJA ikan nila di danau Toba, waduk Cirata dan lain-lain.
Ketua Dewan Penasehat Kadin Kelautan dan Perikanan, Prof Rokhmin Dahuri.
Terkait hal tersebut, Kadin Kelautan dan Perikanan mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan lima hal. Pertama, deregulasi. “Jika pemerintah melakukan deregulasi, nilai ekspor perikanan bisa kembali masuk dalam daftar 10 penyumbang devisa terbesar di Indonesia, dengan nilai sebesar 5,8 miliar dolar AS, menduduki peringkat ke-9,” ujar Rokhmin.
Langkah kedua adalah mempercepat proses perizinan dan perpanjangan perijinan. Langkah ketiga, mengembangkan aquaculture/perikanan budidaya yang potensi ekonominya 240 miliar dolar AS per tahun.
Langkah keempat adalah menerapkan teknologi modern untuk tambak garam sehingga produktivitasnya naik hingga 400 persen dan kualitasnya juga naik. “Hal ini sangat penting, agar tanbak garam dalam negeri bisa memasok seluruh kebutuhan garam dapur dan industri dengan target bisa menghemat devisa dari impor garam sebesar 1,4 miliar dolar AS per tahun,” tuturnya.
Langkah kelima adalah mengoptimalisasikan kapasitas terpasang industri pengolahan ikan dengan menjamin pasokan bahan baku ikan dari dalam negeri yang potensinya 12,5 juta ton per tahun, dengan potensi ekspor sekitar 12 miliar dolar AS per tahun.
Jika kelima langkah yang disarankan Kadin Kelautan dan Perikanan ini dijalankan, Rokhmin yakin, dalam waktu 6-24 bulan sektor perikanan Indonesia bisa menghasilkan devisa sekitar 5,8 miliar dolar AS. Kemudian, dalam waktu lima tahun bisa meningkat hingga 52 miliar dolar AS, serta dalam waktu satu hingga dua dekade bisa meningkat hingga 252 miliar dolar AS per tahun. “Devisa sebesar ini ekivalen dengan 12 kali devisa dari sawit, atau sekitar 164 persen dari APBN RI tahun 2018,” papar Rokhmin.
Ia mengemukakan, jika target devisa ini tercapai bersamaan dengan meningkatnya devisa dari 10 sektor andalan lainnya maka nilai tukar rupiah bisa lebih kuat dari Singapura, cadangan devisa Indonesia bisa melampaui Cina, dan 40 juta lapangan kerja baru bisa dibuka. “Sehingga, kemiskinan menurun drastis, dan daya beli masyarakat meningkat belasan kali lipat,” tutur Rokhmin Dahuri.