Jumat 07 Sep 2018 11:33 WIB

Siasat Penjual Tahu dan Tempe Hadapi Pelemahan Rupiah

Sejumlah pedagang memilih untuk mengecilkan ukuran tempe dan tahunya.

Rep: Antara/Dedy Darmawan / Red: Teguh Firmansyah
Perajin menggiling kedelai impor sebelum diolah menjadi tempe di gudang Koperasi Pengrajin Tahu Tempe Sanan, Malang, Jawa Timur, Rabu (5/9).
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Perajin menggiling kedelai impor sebelum diolah menjadi tempe di gudang Koperasi Pengrajin Tahu Tempe Sanan, Malang, Jawa Timur, Rabu (5/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Produsen tahu di Kota Palembang, Sumatra Selatan, menyiasati harga kedelai yang tinggi karena pelemahan nilai tukar rupiah. Para produsen membuat pengaturan dua pilihan harga penjualan agar bisa bertahan.

Salah satu produsen tahu di kawasan Padang Selasa, Bukit Besar, Merry, di Palembang, Jumat (7/9), mengatakan, untuk mengatasi kondisi sulit sekarang ini, ia dipaksa terus berpikir kreatif. "Ibu-ibu yang menjadi pelanggan, akan keberatan bila harga tahu tiba-tiba dinaikkan drastis atau ukurannya diperkecil. Kondisi tersebut kami siasati dengan membuat dua ukuran tahu sehingga harga penjualannya disesuaikan dengan pilihan ukuran tersebut," ujarnya.

Tahu dibuat dua ukuran dengan harga jual mulai Rp 800 hingga Rp 1.000 per potong.

Dengan dua pilihan harga tersebut, kata Merry, pelanggan dan para konsumen tidak merasakan bahwa tahu yang dibelinya telah mengalami sedikit kenaikan harga dan terjadi perubahan ukuran.

Menurut dia, tahu produksinya dijual sendiri di pasar tradisional KM 5 Palembang. Dengan begitu, untuk memasarkan, tidak terlalu sulit karena bisa langsung menjelaskan kepada pelanggan.

Secara umum cara menyiasati pasar dengan pola pilihan harga tersebut, kata dia, bisa diterima pelanggan. Barang dagangannya tidak pernah tersisa atau sampai tidak habis terjual.

Setiap hari, dia biasanya menghabiskan 100 kilogram kedelai untuk dijadikan tahu. Namun, pada kondisi harga bahan baku utama tersebut masih cukup tinggi, ia terpaksa menurunkan jumlah produksi hingga 50 persennya.

Selain itu, untuk mengatasi biaya produksi yang tinggi, pembuatan tahu yang memerlukan proses pengukusan hingga enam jam itu digunakan bahan bakar kayu. "Kami peroleh kayu bekas bongkaran rumah," kata Merry yang mengaku telah menekuni usaha pembuatan tahu sejak tahun 1980 itu.

Tahu dan tempe juga masih menjadi lauk utama bagi sebagian warga Palembang, terutama warga pendatang yang banyak berdomisili di daerah ini. Sejumlah warung makan dan restoran, juga menyiapkan menu makanan yang terdapat tempe dan tahu goreng maupun variasi berbahan baku tahu dan tempe lainnya.

Nilai tukar rupiah kini telah mendekati Rp 15 ribu per dolar AS. Adapun kacang kedelai sebagai bahan baku utama tempe dan tahu saat ini masih tergantung dari impor. Dengan kenaikan kedelai, secara otomatis akan berpengaruh pada harga jual kedelai.

Salah satu pedagang tempe dan tahu di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, Becky (30 tahun), mengatakan, saat ini rata-rata harga tempe sebesar Rp 6.000 per setengah kilogram.

photo
Seorang pedagang, Becky (30 tahun), di Pasar Tebet Barat, Kamis (6/9), tengah mengiris tempe untuk dibungkus dengan daun pisang. Harga tempe dan tahu belum mengalami kenaikan meski rupiah terus melemah dan memicu kenaikan harga kedelai impor. Pedagang memilih untuk mengecilkan ukuran agar keuntungan yang diperoleh tetap sama.

Sementara untuk ukuran tempe dengan berat 70 ons dihargai Rp 10 ribu. Menurut dia, hingga saat ini harga masih normal. Sedangkan, harga yang sama juga berlaku untuk tahu. "Harga masih belum berubah, tapi kemungkinan ukurannya yang jadi lebih kecil," kata Becky saat ditemui di Pasar Tebet Barat, Kamis (6/9).

Baca juga, Rupiah Anjlok, Pedagang Tempe Perkecil Ukuran.

Ia tak mengetahui berapa harga kacang kedelai saat ini. Sebab, dia mengambil tempe dan tahu dari Pasar Jatinegara, bukan dari produsen. Menurut dia, harga yang diterima pun sampai saat ini masih sama. Jika kenaikan harga masih wajar, harga jual ke konsumen belum akan naik.  

Pedagang lainnya di pasar yang sama, Jaya (32), mengatakan, rata-rata keuntungan yang diambil pedagang hanya Rp 200-Rp 300 per setengah kilogram. Ia mengaku, untung itu sudah cukup besar bagi para pedagang tempe dan tahu di pasar tradisional.  

Senada dengan Becky, Jaya mengatakan, memperkecil ukuran tempe adalah cara yang paling mudah agar konsumen tidak mengeluh. Sebab, berkaca dari pengalaman dia sebagai pedagang, meski kenaikan hanya Rp 1.000 untuk berbagai ukuran, konsumen komplain. "Buat orang Indonesia tempe-tahu itu salah satu makanan wajib. Rasanya ada yang kurang kalau tidak ada tempe dan tahu," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement