REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tidak mempermasalahkan kebijakan pemerintah untuk membatasi impor terhadap 900 komoditas. Asalkan, produk yang dibatasi adalah barang konsumsi, bukan bahan baku.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menjelaskan, apabila pemerintah melakukan pengereman terhadap impor bahan baku, justru dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap pelaku industri. "Sebab, tidak semua bahan baku yang biasa diimpor tersedia di Indonesia," ujarnya ketika dihubungi Republika, Rabu (5/9).
Untuk beberapa bahan baku, Hariyadi menambahkan, ketersediaan di dalam negeri pun mengalami keterbatasan, sehingga membutuhkan modal lebih besar. Ia mencontohkan kakao yang memakan biaya tidak sedikit untuk menghasilkannya dibanding dengan harus mengimpor.
Dengan kondisi tersebut, Hariyadi meminta agar pemerintah benar-benar mengkaji lebih dalam tentang komoditas terpilih. Termasuk dari segi kebutuhan dalam negeri terhadap produk tersebut maupun tingkat ketersediaan barang substitusi. Menurutnya, jika salah dalam memilih produk, dicemaskan dapat merugikan industri yang seharusnya memiliki nilai tambah.
Hariyadi menuturkan, pengendalian impor memang menjadi salah satu upaya solutif dalam mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia sekarang. Terutama untuk menghemat cadangan devisa yang selama ini digunakan untuk mengimpor komoditas.
"Tapi, ya kembali lagi, harus benar-benar dilihat dan dikaji," ucapnya.
Hariyadi menambahkan, impor tidak harus selalu menjadi isu negatif. Sebab, 90 persen impor yang dilakukan Indonesia adalah untuk kebutuhan produksi dan tidak mengganggu perekonomian.
Bahkan, kegiatan impor yang kini didominasi untuk memenuhi keperluan infrastruktur, berdampak positif terhadap iklim bisnis.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, pengendalian impor adalah opsi tepat untuk mengatasi permasalahan ekonomi saat ini. Pasalnya, impor berpotensi mematikan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Ia menjelaskan, apabila dilihat dari trend neraca pada 2010, industri tekstil dan produk tekstil sempat mencapai surplus 700 miliar dolar AS yang sekarang tinggal 3 miliar dolar AS. "Artinya, impor semakin digenjot dibanding ekspor," ucap Redma saat dihubungi Republika, Selasa (4/9).
Menurut Redma, impor membuat industri dalam negeri yang seharusnya dapat menambah produksi justru menjadi tertekan. Utilisasi pun semakin rendah.
Melalui penghentian impor 900 komoditas, Redma menilai pemerintah dapat menghemat devisa dan memperkuat rupiah. Di sisi lain, industri dalam negeri tumbuh.