Senin 03 Sep 2018 17:03 WIB

Petani Sawit Tunggu Ketegasan Pemerintah Lindungi Harga

Harga TBS kelapa sawit dipatok di angka Rp 1.740 per kilogram

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Petani memindahkan buah kelapa sawit yang baru dipanen. ilustrasi
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Petani memindahkan buah kelapa sawit yang baru dipanen. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Petani kelapa sawit di Sumatra Barat menyerukan kepada pemerintah setempat untuk memberikan perlindungan atas harga jual komoditas tersebut di level petani. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mencatat, sebanyak 70 persen petani sawit di Sumbar belum menjalin kemitraan dengan perusahaan pengolahan sawit, sehingga tidak mendapat harga jual yang layak.

Harga jual tandan buah segar (TBS) sawit memang ikut ditentukan dari 'status' petani apakah bermitra dengan perusahaan pengolahan atau tidak. Bila bermitra, harga jual sawit bisa lebih tinggi. Per akhir Juli 2018 misalnya, harga TBS kelapa sawit di Sumbar dipatok di angka Rp 1.740 per kilogram (kg) bagi yang bermitra dengan perusahaan dan Rp 900-Rp 1.200 per kg untuk petani swadaya atau yang tidak menjalin kemitraan dengan perusahaan.

Di Sumatra Barat, harga jual TBS ditetapkan dua kali dalam sebulan oleh Apkasindo dan Pemprov. Ketua Apkasindo Sumbar, Syahril, menjelaskan bahwa penetapan harga jual TBS oleh asosiasi dan Pemprov ditujukan untuk petani yang bermitra dengan perusahaan.

Sementara petani swadaya, harga jual TBS-nya ditetapkan melalui pedagang pengumpul. Hal ini yang membuat petani swadaya tidak memiliki kuasa penuh untuk mendapat harga layak.

Syahril mendesak pemerintah daerah untuk segara menyusun langkah untuk membantu petani sawit swadaya. Apalagi ada kecenderungan perusahaan sawit justru enggan menjalin kemitraan baru dengan petani. Alasannya, perusahaan menghindari pembayaran TBS dengan harga lebih tinggi.

Syahril meminta pemerintah menerbitkan regulasi tentang penetapan harga TBS, baik dari petani yang bermitra dengan perusahaan atau yang tidak menjalin kemitraan. Hal ini bertujuan menghindari kesenjangan harga yang mencolok antara kedua kelompok petani tersebut.

"Padahal perusahaan sawit bisa mendapatkan izin usaha pengolahan (IUP) karena adanya surat dukungan kontrak pasokan buah dari kelompok tani sawit bagi perusahaan sawit tanpa kebun," katanya, Senin (3/9).

Menurutnya, pemerintah harus lebih tegas untuk menyisir lagi perusahaan sawit yang telah mendapat IUP tersebut. Syahril juga berharap pemerintah daerah dan legislatif lebih peka terhadap nasib petani sawit karena mereka menjadi salah satu penyumbang pajak yang cukup besar.

Catatan pemerintah, terdapat 38 izin perusahaan perkebunan sawit yang diterbitkan di Sumbar selama 2017. Dari 38 perusahaan tersebut, terbentang kebun sawit dengan total luas mencapai 166.852,11 hektare.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement