Jumat 31 Aug 2018 15:21 WIB

Rupiah Rp 14.700 per Dolar AS, Darmin: Dampak Argentina

Kinerja rupiah dinilai menjadi salah satu yang terburuk.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
Darmin Nasution
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Darmin Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, krisis keuangan di Argentina paling dominan memberikan dampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Untuk diketahui, nilai tukar rupiah telah menembus level Rp 14.700 per dolar AS.

"Itu (pelemahan rupiah) karena ada permasalahan negara lain, di Argentina," kata Darmin di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Jumat (31/8).

Darmin mengatakan, persoalan yang terjadi di Argentina cukup mengejutkan. Hal itu lantaran negeri Tango telah mendapat bantuan dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) sebesar 50 miliar dolar AS.  Akan tetapi, hal itu ternyata belum mampu menolong gerakan arus modal keluar sehingga harus menaikkan suku bunga sampai 60 persen.

"Tapi ya, pasti negara yang memang mempunyai masalah yang cukup mendalam dalam soal neraca pembayaran pasti akan ada saja cara terpengaruh," kata mantan Gubernur Bank Indonesia.

Baca juga, Perang Dagang Makin Membuat Kurs Rupiah Terpuruk.

Darmin mengatakan, secara umum krisis tersebut akan terus memberikan dampak tekanan pada pasar finansial Indonesia hingga persoalan di Argentina berakhir. Dia menekankan, dampak tersebut tak hanya dirasakan Indonesia tapi juga negara lain.

"Negara maju, seperti Inggris semua kena. Bukan cuma negara berkembang," kata Darmin. 

Berdasarkan kurs tengah bank Indonesia, kurs tengah pada pembukaan Jumat (31/8) sudah menyentuh Rp 17.100 per dolar AS.

Research Analyst FXTM Lukman Otunuga mengatakan, rupiah menjadi salah satu mata uang di kawasan Asia yang paling berkinerja buruh sepanjang 2018. Upaya Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan tidak berpengaruh. “Rupiah tetap melemah walau suku bunga acuan sudah ditingkatkan sebanyak empat kali sejak bulan Mei,” kata dia dalam keteranga tertulis kepada Republika.co.id, Kamis (30/8).

Ia mengungkapkan, keterpurukan rupiah terutama terjadi saat ketegangan perang dagang global terjadi. Kondisi diperburuk oleh ekspektasi pelaku pasar uang terkait kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS Federal Reserve. Menurut Lukman, The Fed diprediksi kembali meningkatkan suku bunga acuan di bulan september. “Dolar akan stabil sehingga rupiah berpotensi terus melemah,” jelasnya.

Sejauh ini tingkat suku bunga acuan BI di level 5,5 persen sedangkan suku bunga The Fed di rentang 1,75-2 persen. Sejak era BI dipimpin oleh Perry Warjiyo, BI menempuh pengetatan kebijakan moneter lewat kenaikan suku bunga demi menstabilkan nilai rupiah terhadap dolar AS.

Mengutip Jakarta Interbank Spot Dollar BI, Kamis (30/8) rupiah diperdagangkan sudah sebesar Rp 14.655 per dolar AS. Level tersebut merupakan pelemahan terdalam sejak September 2015. Lukman mengatakan, para pelaku pasar uang akan terus mengamati perkembangan rupiah. Ia menilai, rupiah yang sudah melebihi level Rp 14.650 berpotensi untuk melanjutkan pelemahan ke level Rp 14.720. 

Ia menambahkan, ketegangan di pasar global dapat kembali meradang jika Presiden AS Donald Trump meningkatkan biaya tarif impor produk dari China senilai 200 miliar dolar AS pada 5 September mendatang. Investor pasar uang gelisah menanti keputusan Trump.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, berdasarkan Rapat Dewan Komisioner OJK, stabilitas sektor jasa keuangan dan kondisi likuiditas di pasar keuangan Indonesia masih dalam kondisi terjaga di tengah tekanan di pasar keuangan negara berkembang.

Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2018 menunjukkan perbaikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tingkat inflasi berada pada level yang terkendali. Selain itu, kinerja korporasi dalam negeri masih memadai. Hal itu tercermin dari kinerja keuangan emiten Bursa Efek Indonesia yang sebagian besar mencatat perbaikan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement