Rabu 08 Aug 2018 15:13 WIB

Pemerintah akan Bentuk Badan Pengelola Dana Kopi

Pemerintah telah mendirikan badan pengelola dana perkebunan (BPDP) kelapa sawit

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Nidia Zuraya
Petani memanen kopi robusta di salah satu perkebunan rakyat di Nyatnyono, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/7).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Petani memanen kopi robusta di salah satu perkebunan rakyat di Nyatnyono, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana mendirikan lembaga pengelola dana perkebunan kopi. Kehadiran lembaga ini diharapkan bisa mendorong pengembangan kopi di Indonesia. 

Sebelumnya pemerintah juga telah mendirikan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. "Kita memang berusaha untuk ada semacam BPDP seperti di kelapa sawit karena kopi itu harganya cukup baik," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution usai menghadiri Gathering dan Rountable Discussion “Strategi Kebijakan dan Program Pengembangan Kopi Indonesia untuk Merespons Kebutuhan Agroindustri Kopi Global” di Hotel Borobudur, Jakarta, pada Rabu (8/8). 

Pertemuan yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) itu bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait komoditas kopi Indonesia dan mendiskusikan kendala yang dihadapi saat ini. Menurut Darmin, eksotisme kopi berdampak pada laju konsumsi kopi di dunia. 

"Kopi tidak hanya dikonsumsi oleh negara-negara maju seperti zaman dahulu. Bahkan, saat ini, di era Third Gold Wave, kopi dikonsumsi bukan hanya sebagai minuman penyegar, tetapi juga sebagai sebuah gaya hidup,” kata Darmin.

Berdasarkan data coffee market report International Coffee Organization (ICO) per Juni 2018, komoditas kopi global mengalami defisit pasokan dalam beberapa tahun terakhir, sebesar 1,36 juta karung pada 2017.

Dengan begitu, keberadaan Indonesia sebagai negara produsen utama kopi dunia yang memiliki varian jenis kopi yang beragam, dapat memerankan posisi strategis di level nasional maupun global. Saat ini, Indonesia setidaknya memiliki 21 jenis kopi yang dikategorikan sebagai coffee speciality yang mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografi (IG) dari Kemenkumham RI sebagai produk berkualitas dan spesifik. 

Hanya saja, konsumsi kopi nasional yang cukup pesat dalam 5 tahun terakhir, yakni 8,8 persen per tahun,  tidak diimbangi dengan pertumbuhan pertumbuhan produksi yang cenderung stagnan bahkan negatif, rata-rata minus 0,3 persen per tahun.

“Apabila kita tidak mengantisipasi dan mengatasi masalah ini, tidak menutup kemungkinan 2 hingga 3 tahun ini, Indonesia dapat menjadi importir kopi. Dengan begitu, diperlukan sebuah langkah strategis dan prospektif perkopian nasional,” ujar Darmin.

Menko Darmin juga menegaskan bahwa hal yang perlu menjadi fokus pembahasan adalah kecilnya luasan kebun kopi yang digarap oleh petani. Saat ini, kebun kopi yang dikelola setiap keluarga petani masih relatif kecil, yakni mencapai 0,71 hektare per keluarga untuk jenis robusta dan 0,6 hektare per keluarga untuk jenis arabika. Padahal, luasan kebun yang ideal untuk setiap keluarga petani adalah 2,7 hektare setiap keluarga. 

Persoalan lainnya adalah produktivitas kopi petani cenderung lebih rendah dari potensi, yakni 0,53 ton per hektare dari total potensi 2 ton per hektare untuk kopi robusta dan 0,55 ton per hektare dari total potensi 1,5 ton untuk kopi arabika. 

Kombinasi dua permasalahan ini akhirnya berimplikasi pada kemampuan finansial petani untuk modal memperluas kebun, melakukan intensifikasi dan peremajaan menjadi sangat terbatas. “Pesan yang ingin saya sampaikan adalah pemerintah perlu hadir dalam menyelesaikan persoalan di atas, seperti manajemen bibit kopi untuk para petani dan lain-lain, didukung dengan melibatkan riset perkebunan yang kuat,” kata Darmin. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement