REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti Bidang Pangan dari Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Felippa Amanta mengatakan, terjadi tren penurunan produksi kakao dan kopi di Indonesia tiap tahunnya. Penurunan produksi ini menjadi penyebab rendahnya pemenuhan pasar global bagi kedua komoditi tersebut.
Berdasarkan catatan CIPS, jumlah produksi kakao dan kopi dalam kurun waktu 2012-2017 mengalami tren penurunan. Tercatat, produksi kakao pada 2012 hanya 740,500 ton dan menukik tajam di 2019 sebesar 659,776 ton. Sedangkan produksi kopi pada 2012 sebesar 691,163 ton menjadi 668,677 ton pada 2019.
“Sebenarnya market share dua komoditas ini sangat banyak sekali di kancah global, hanya saja memang produktivitas kita tak bisa mengimbangi,” kata Felippa, di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa (17/9).
Dia melanjutkan, data-data produksi yang dihimpun CIPS tadi pun bersumber salah satunya dari Kementerian Pertanian (Kementan), yang mana keabsahan data tersebut masih terus dikritisi keabsahannya. Jika dibandingkan dengan data dari beberapa perusahaan swasta, dia melanjutkan, produktivitas kakao dan kopi Indonesia hanya berkisa 300 ribu-400 ribu ton per tahun.
Menurut dia, minimnya produksi tersebut disebabkan sejumlah masalah antara lain karakteristik pohon yang sudah tua (dengan rata-rata usia dia atas 35 tahun), rentan terserang hama dan penyakit, minimnya minat petani untuk berbudi daya dengan resiko pohon yang tinggi, hingga minimnya nilai tambah produksi. Dia menambahkan, karena peremajaan belum secara keseluruhan terjadi, produktivitas pun sulit tercapai.
“Akhirnya banyak petani yang beralih ke karet, kelapa sawit. Jadi kakao dan kopi kurang diprioritaskan,” ungkapnya.
Sejumlah upaya dan program yang dilakukan pemerintah pun dinilai belum mampu menjawab tantangan produksi dan permintaan pasar. Misalnya minimnya keselarasan antara benih yang dibudidayakan pemerintah dengan wilayah tanam dengan arakteristik tanah lokalnya.
Di samping itu, petani juga dinilai minim diberikan pembinaan teknik maupun pendampingan terhadap akses permodalan. Padahal, biaya produksi dengan mengusung nilai tambah membutuhkan proses, modal, hingga pendampingan yang meneluruh.
Dia membandingkan sejumlah program pemerintah dengan program yang dilakukan oleh tiga perusahaan swasta dalam melakukan pendampingan terhadap petani. Ketiga perusahaan yang dimaksud antara lain Swisscontact, Kalimajari, dan Nestle.
Misalnya untuk produksi kakao, dalam dua tahun dengan membina 154 ribu petani kakao, produktivitas kakao yang diperoleh sebesar 0,62 ton per hektare, sedangkan pada data Kementan produktivitas di waktu yang sama hanya mampu mencapai 0,4 ton per hektare.
Tak hanya produksi, kata dia, swasta juga kerap mendampingi petani untuk menghasilkan produk bernilai tambah hingga hilir pemasarannya. Harga jual kakao petani pada umumnya hanya membukukan Rp 20 ribu per kg, sedangkan harga berbeda oleh petani binaan PT Kalimanjari mampu membukukan harga di level Rp 40 ribu per kg.
“Tentunya kan mereka juga ada pendampingan bagaimana petani itu dibimbing untuk berproduksi, hingga pendampingan ke akses pasar. Sertifikasi dan lainnya,” kata dia.
Mengacu statistik CIPS, impor kakao terbesar di Uni Eropa berasal dari Ghana sebesar 25 persen, Kamerun 10 persen, Nigeria 10 persen, sedangkan Indonesia hanya 1 persen. Untuk kopi, impor Uni Eropa dipasok dari Brasil sebesar 31 persen, Vietnam 25 persen, dan Indonesia hanya 4 persen.
Saat ini menurut dia dengan dilakukannya penjajakan kerja sama komprehensif antara Indonesia-Uni Eropa (I-EU Cepa), produktivitas komoditas pertanian yang diminati pasar perlu digenjot. Hal itu karena peluang pasar Eropa dinilai cukup prospektif meski sejumlah kendala tarif dan non-tarif tetap ada.
“Kita harapkan I-EU Cepa ini bisa meningkatkan investasi masuk. Kalau investasi masuk tentunya aspek produksi kita bisa terdorong dan bisa berkontribusi terhadap neraca dagang kita,” ujarnya.