REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta fokus untuk meningkatkan produktivitas gula nasional. Program revitalisasi yang selama ini menjadi agenda rutin rupanya belum memberikan hasil baik.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina Saputri mengatakan, sudah hampir 10 tahun produktivitas gula tidak pernah mengalami perubahan secara signifikan. Tidak berhasilnya program revitalisasi ini menyebabkan petani tebu tidak memiliki kemampuan bersaing atau competitive advantage yang memadai, baik dalam hal memenuhi permintaan maupun bersaing dengan produk impor.
Mekanisme impor yang efektif juga merupakan langkah yang benar untuk menjamin ketersediaan permintaan dan menekan harga agar tidak terlalu tinggi. "Namun kenyataannya, rata-rata harga gula nasional tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan rata-rata harga internasional," katanya melalui siaran pers, Kamis (2/8).
Baca juga, Enam Ratus Ribu Ton Gula Petani tak Laku
Hal tersebut menggambarkan bahwa usaha pemerintah untuk membuat harga gula lebih terjangkau tidak efektif. Untuk itu, perlu adanya evaluasi dan dilakukan peningkatan efisiensi, baik secara on farm dan off farm harus jadi prioritas utama.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA), produktivitas tebu nasional cenderung menurun. Pada 2010, produktivitas tebu nasional mencapai 78,2 ton per hektare dan menurun cukup tajam di 2011 menjadi 66,7 ton per hektare. Produktivitas tebu nasional kembali meningkat pada 2012 menjadi 71,9 ton per hektare.
Pada 2013, produktivitas tebu nasional meningkat menjadi 73,2 ton per hektare dan kembali menurun pada 2014 menjadi 66,1 ton per hektare. Produktivitas gula nasional mengalami kenaikan menjadi 66,7 ton per hektare dan bertambah pada 2016 menjadi 68,3 ton per hektare.
Terkait penyerapan gula dari petani, pemerintah sebenarnya berniat untuk menjaga stabilitas persediaan sekaligus harga gula. Sistem ini, kata dia, sebenarnya efektif apabila informasi yang didapatkan dan dipublikasikan akurat. Pasalnya informasi seputar suplai dan pemerintah serta harga gula baik produsen maupun konsumen tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Ia menambahkan, Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengklaim pemerintah menyerap gula petani dengan harga terlalu rendah. Harga yang dianggap layak adalah Rp 10.700 per kg. Sementara sesuai dengan keputusan rapat koordinasi terbatas (rakortas), harga serapan untuk gula petani sebesar Rp 9.700 per kg.
Perum Bulog mengklaim, harga tersebut sudah ideal mengingat perusahaan pelat merah ini harus menanggung pajak petani sebesar 1,5 persen bagi yang memiliki NPWP atau tiga persen bagi yang tidak memiliki NPWP. Lain halnya dengan data yang dikeluarkan oleh situs resmi Kementerian Pertanian yang menyebut rata-rata harga gula konsumsi di tingkat penggilingan sebesar Rp 4.725 per kg.
"Meskipun nilai ini adalah rata-rata nasional, akan tetapi pabrik gula di Jawa Timur merupakan pabrik gula dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar," ujarnya.
Disparitas harga yang lebih dari Rp 5.000 ini jelas tidak masuk akal. Kalau mengacu pada data Kementerian Pertanian, kata dia, tidak ada yang mengalami kerugian baik petani maupun perusahaan penggilingan.