REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergerakan kurs rupiah masih tertekan oleh dolar AS. Pada spot perdagangan mata uang siang ini, (24/7), mata uang Indonesia itu melemah 0,46 persen atau 66 poin di Rp 14.548 per dolar AS.
Angka itu tidak bergerak sejak sekitar pukul 10.00 WIB. Sebelumnya nilai tukar rupiah juga sempat terperosok 78 poin atau 0,54 persen ke Rp 14.560 per dolar AS.
Sementara itu, berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) hari ini, (24/7), rupiah berada di level Rp 14.541 per dolar AS. Melemah cukup jauh bila dibandingkan posisi Senin (23/7) di level Rp 14.454 per dolar AS.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai, dari sisi tren terlihat masih adanya peluang bagi kurs rupiah untuk kembali melemah. Hal itu seiring minimnya sentimen positif dari dalam negeri.
"Maka diharapkan laju rupiah dapat menyerap sentimen pelemahan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama global lainnya. Tujuannya untuk menahan pelemahan lebih lanjut," kata Reza di Jakarta, Selasa, (24/7).
Dengan begitu, kata dia, tetap mencermati dan waspadai berbagai sentimen. Terutama yang dapat membuat kurs rupiah kembali melemah.
Ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan oleh rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS The Fed. Rupiah cenderung lebih besar tekanannya dibandingkan emerging market lain karena tekanannya tidak hanya satu.
"Suku bunga AS, tapi juga harga minyak dan juga trade war," ujar Tony di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7).
Menurut Tony, kenaikan harga minyak yang mencapai 77 dolar AS per barel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, lanjutnya, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. "Kenaikan harga minyak bikin repot pemerintah. Tahun ini minyak juga buat tekanan yang besar terhadap rupiah," kata Tony.
Baca juga, Rupiah Kembali Melemah, Ini Penjelasan Sri Mulyani.
Sementara itu, perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara lain, disebut akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya negatif dan akan memberikan tekanan terhadap rupiah.
Tony menuturkan, struktur ekspor Indonesia masih belum terlalu terdiversifikasi dan masih cenderung pada ekspor sumber daya alam mentah. "Pak Jokowi masih punya PR bagaimana supaya rupiah lebih rendah volatilitasnya. Bagaimana inflow short-term jadi long-term," kata Tony.
Terkait dengan pernyataan Trump yang tidak senang dengan kenaikan suku bunga AS sendiri, Tony pun menyatakan hal tersebut logis. Menurutnya, apabila dolar AS menguat, posisi perdagangan AS terhadap seluruh dunia termasuk Cina, akan semakin sulit. "Kita dukung Trump, kenaikan suku bunga AS yang terlalu cepat akan merepotkan Rupiah," kata Tony.