Jumat 13 Jul 2018 11:36 WIB

Pengamat: PLN Rugi karena Meroketnya Ongkos Produksi

PLN mengalami kerugian pada kuartal I/2018 sebesar Rp 6,49 triliun.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Teguh Firmansyah
  Dua petugas PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sedang menyelesaikan jaringan kabel listrik di wilayah Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (15/8) lalu.
Foto: Republika/Rakhmat Hadi Sucipto
Dua petugas PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sedang menyelesaikan jaringan kabel listrik di wilayah Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (15/8) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radhi menilai, kerugian yang diderita PLN bukan disebabkan oleh penurunan pendapatan dalam enam bulan ini. Kerugian melainkan lebih disebabkan oleh pembengkakan harga pokok penyediaan (HPP) yang membebani PLN.

Menurut Fahmi, meski secara pendapatan PLN mencatatkan pendapatan yang baik, dengan membengkaknya HPP, pendapatan tersebut tidak bisa menutup kelebihan harga pokok produksi.

"Namun, peningkatan pendapatan yang signifikan itu ternyata tidak mampu menutup pembengkakan biaya usaha, terutama peningkatan HPP listrik yang melambung tinggi," ujar Fahmi kepada Republika.co.id, Jumat (13/7).

Fahmi menjelaskan, kenaikan HPP listrik PLN itu dipengaruhi oleh beberapa variabel. Di antaranya harga energi dasar, harga pembelian listrik dari Independent Power Plant (IPP), pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan inflasi.

Dalam waktu bersamaan, hampir semua komponen energi dasar, BBM, gas, batu bara, dan energi baru terbarukan (EBT) mengalami kenaikan secara signifikan. Sedangkan, kurs rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar AS, meski inflasi cenderung stabil.

"Peningkatan harga energi primer dan kenaikan biaya pembelian listrik dari IPP, serta pelemahan rupiah itulah yang menjadi variabel utama yang membengkaknya beban HPP listrik sehingga menyebabkan PLN mengalami kerugian pada kuartal I/2018 sebesar Rp 6,49 triliun," ujar Fahmi.

photo
Dirut PLN, Sofyan Basir

Masalahnya, semua variabel itu merupakan varibel eksternal yang tidak bisa dikontrol (uncontrollable), sehingga mustahil bagi manajemen untuk menurunkan beban HPP listrik. Upaya satu-satu yang masih bisa dilakukan oleh manajemen adalah melakukan efisiensi terhadap biaya operasional, biaya tranmisi, dan biaya distribusi.

Baca juga,  Pelemahan Rupiah, PLN Rugi Hingga Rp 6 Triliun.

Sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) selama awal tahun hingga Juni 2018 mencatat kerugian sebesar Rp 6 triliun. Kerugian ini terjadi akibat adanya pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika. Direktur Utama PLN Sofyan Basir menjelaskan, selain pelemahan rupiah, kerugian PLN juga dikarenakan adanya kenaikan harga BBM dan inflasi.

"Ada kenaikan biaya Rp 1,3 triliun setiap kenaikan Rp 100 rupiah (penguatan dolar AS) jadi tambahan biaya biaya PLN. Kami estimasi rugi Rp 6 triliun," ujar Sofyan di gedung DPR, Rabu (11/7).

Meski merugi, kata Sofyan, secara perseroan laba perusahaan tetap mengalami kenaikan. Meski belum bisa memerinci berapa besaran kenaikan, Sofyan tetap optimistis pada akhir tahun PLN bisa mencatatkan keuangan yang baik. "Kalau data jelasnya, nanti aja setelah diaudit. Tapi mudah-mudahan oke," ujarnya.

Salah satu cara PLN menjaga keuangan, kata Sofyan, adalah dengan dukungan harga bahan baku yang masuk dalam keekonomian PLN. Ia mengatakan, aturan DMO yang dibuat pemerintah kemarin cukup membuat PLN efisien.

Sofyan menambahkan, dengan kebijakan DMO tersebut, PLN bisa menghemat anggaran sebesar Rp 100 miliar. Harga yang cukup tersebut juga membuat PLN memastikan bahwa pasokan listrik untuk masyarakat cukup.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement