Selasa 03 Jul 2018 08:05 WIB

Harga Minyak Turun Dipicu Naiknya Produksi Saudi dan Rusia

Perang dagang yang dilancarkan AS membuat pasar minyak global tak menentu

Ilustrasi harga minyak mentah dunia.
Foto: EPA/Mark
Ilustrasi harga minyak mentah dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kontrak minyak mentah berjangka turun pada akhir perdagangan Senin (2/7) atau Selasa (3/7) pagi WIB. Penurunan harga minyak mentah ini karena pasokan dari Arab Saudi dan Rusia meningkat.

Sementara pertumbuhan ekonomi di Asia tersendat di tengah meningkatnya perselisihan perdagangan dengan Amerika Serikat. Hal ini membuat pasar minyak tak menentu.

Baca Juga, AS Ingin Menghapus Iran dari Pasar Minyak Dunia

Minyak mentah Brent turun 2,4 persen dalam sesi tersebut, mengubah arah dari minggu lalu ketika naik lebih dari lima persen. Patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman September turun 1,93 dolar AS menjadi ditutup pada 77,30 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.

Sementara itu, patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus turun 0,21 dolar AS menjadi menetap di 73,94 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Premi minyak mentah AS untuk bulan depan dibandingkan dengan bulan kedua melebar menjadi sebanyak 2,38 dolar AS per barel, terbesar sejak 20 Agustus 2014. Gerakan ini menunjukkan pasar memperkirakan kekurangan pasokan menjadi lebih parah dalam jangka pendek.

Penyedia informasi Genscape mengatakan persediaan minyak mentah AS di pusat pengiriman Cushing, Oklahoma, jatuh pada pekan ini. Genscape mengatakan stok di pusat pengiriman tersebut turun 3,2 juta barel dalam seminggu yang berakhir 22 Juni, tetapi naik sedikit dalam empat hari berikutnya hingga 26 Juni.

Persediaan di Cushing turun, sebagian karena penutupan di Kanada. "Produksi di fasilitas ladang minyak Syncrude Kanada dekat Fort McMurray, Alberta, kemungkinan akan tetap offline setidaknya hingga Juli," kata juru bicara Suncor Energy Inc menegaskan kembali pada Selasa (2/7).

"Tampaknya ada ketidakpastian besar tentang berapa banyak minyak akan ditambahkan ke sisi pasokan pasar," kata Gene McGillian, wakil presiden riset pasar di Tradition Energy di Stamford, Connecticut, mengacu pada berapa banyak kapasitas cadangan Saudi akan mampu mengimbangi kekurangan di seluruh dunia.

Presiden AS Donald Trump men-tweet pada Sabtu (30/6) bahwa Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dari Arab Saudi telah setuju untuk memompa lebih banyak minyak, mungkin hingga 2 juta barel. Gedung Putih kemudian menarik kembali komentar tersebut.

Produksi Arab Saudi naik sebesar 700 ribu barel per hari (bpd) dari Mei, survei Reuters menunjukkan. Jumlah tersebut mendekati rekor 10,72 juta barel per hari dari November 2016.

Produksi dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) meningkat 320.000 barel per hari pada Juni, menurut survei Reuters yang dipublikasikan Senin (2/7). Ke-12 anggota OPEC dengan target pengurangan pasokan meningkatkan produksi sebesar 680.000 barel per hari dibandingkan dengan Mei.

Produksi Rusia naik menjadi 11,06 juta barel per hari pada Juni dari 10,97 juta barel per hari pada Mei, Kementerian Energi mengatakan pada Senin (2/7).

Produksi AS telah melonjak 30 persen dalam dua tahun terakhir, menjadi 10,9 juta barel per hari, yang berarti tiga produsen minyak terbesar dunia sekarang menghasilkan hampir 11 juta barel per hari, memenuhi sepertiga dari permintaan minyak global.

Juga membebani permintaan minyak adalah perselisihan perdagangan antara Amerika Serikat dan ekonomi-ekonomi besar lainnya termasuk Cina, Uni Eropa, India dan Kanada. Cina, Jepang dan Korea Selatan semua melaporkan penurunan pesanan ekspor pada Juni di tengah meningkatnya perselisihan perdagangan dengan Amerika Serikat.

"Salvo yang berulang-ulang dalam perang dagang dan penurunan harga aset meningkatkan pertanyaan tentang seberapa banyak tarif dapat merusak ekonomi global," kata bank AS JPMorgan.

JPMorgan mengatakan konflik (perdagangan) intensitas menengah kemungkinan akan mengurangi pertumbuhan ekonomi global paling sedikit 0,5 persen, sebelum memperhitungkan kondisi keuangan yang lebih ketat dan kejutan sentimen.

Meskipun ada bantuan dari Arab Saudi dan Rusia, pasar minyak tetap tegang karena penutupan yang tidak direncanakan dari Kanada hingga Venezuela dan Libya.

Sanksi AS terhadap Iran semakin berkontribusi terhadap ketegangan yang diperkirakan. Trump mengancam dalam sebuah wawancara yang ditayangkan pada Minggu (30/6) untuk memberikan sanksi pada perusahaan-perusahaan Eropa yang melakukan bisnis dengan Iran.

"Rencana pemerintahan Trump untuk sanksi Iran sekarang sangat jelas. Mereka berusaha menekan ekspor minyak mentah, kondensat, dan produk minyak Iran ke nol," kata konsultan energi FGE dalam sebuah catatan.

sumber : Antara/Xinhua
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement