Selasa 22 May 2018 08:21 WIB

Rupiah Terus Melemah, BI: Kebijakan Moneter Sudah Tepat

Pelemahan nilai rupiah dinilai karena kebijakan ekonomi AS.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
BI Naikkan Suku Bunga Acuan. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo bersama jajaran deputi Gubernur Bank Indonesia menggelar konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/5).
Foto: Republika/ Wihdan
BI Naikkan Suku Bunga Acuan. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo bersama jajaran deputi Gubernur Bank Indonesia menggelar konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah, meski Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) nilai tukar rupiah pada Senin (21/5) berada di posisi Rp 14.176 per dolar AS.

Gubernur BI Agus Martowardojo menilai kebijakan moneter yang diambil sudah tepat. "Kita melihat sekarang ini dengan menaikkan 25 basis poin dan didukung oleh bauran kebijakan yang lain, ini konsisten untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia di tengah situasi dunia yang sedang penuh ketidakpastian. Namun, tentu kita tidak bisa lepas dari kondisi nilai tukar terhadap mata uang dunia lainnya, khususnya dengan dolar AS," ujar Agus di kantor Kemenkeu pada Senin (21/5).

Agus menjelaskan, pelemahan rupiah diakibatkan tekanan eksternal, terutama kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat (AS). Hal itu pun memberikan sentimen positif pada dolar AS dan menyebabkan mata uang negara lain melemah. Kondisi itu tak hanya berdampak pada rupiah, tetapi juga mata uang negara lain.

Agus juga menampik kondisi pelemahan rupiah serupa dengan kondisi ketika terjadi krisis pada 1998 maupun 2008. Ia mengaku, kondisi sistem keuangan Indonesia sudah lebih baik. "Lihat dari cadangan devisa, lihat dari bahwa sekarang sudah ada perbankan yang sehat, yang punya permodalan 22 persen lebih, NPL di bawah tiga persen, kita juga lihat sudah ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin deposit. Kalau seandainya mau dibandingkan dengan kondisi 10 atau 20 tahun yang lalu, kondisi kita sekarang baik dan tidak perlu dikhawatirkan," ujar Agus.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira mengatakan, pelemahan kurs pekan ini bisa sampai ke level Rp 14.300 per dolar AS

Bhima menambahkan, pemerintah bisa melakukan bauran kebijakan antara stimulus fiskal dan moneter.

Dari sisi fiskal, kinerja ekspor memang perlu didorong melalui berbagai insentif seperti tax holiday bagi perusahaan yang berorientasi ekspor. Sementara itu, dari sisi moneter bisa diterbitkan aturan tentang kewajiban devisa hasil ekspor ditahan di bank dalam negeri dalam kurun waktu minimal 6-9 bulan seperti yang dilakukan Thailand.

Karena cukup mendesak, lanjutnya, bentuk paling tepat adalah Perppu UU No 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. "Sejak awal tahun Thailand berhasil mengalami apresiasi 1,6 persen (YTD)," ungkapnya.

Menurut Bhima, langkah jangka pendek selain menaikkan suku bunga acuan adalah bunga kupon surat utang pemerintah untuk menahan keluarnya dana asing. Beberapa seri surat utang tidak laku karena kuponnya kecil. Jika dinaikkan, investor masih melihat SBN instrumen yang menarik.

Di sisi lain, efek kenaikan bunga acuan BI bisa berdampak ke naiknya bunga kredit perbankan dalam 2-3 bulan ke depan. Rata-rata bunga kredit 11,20 persen per Maret 2018. Jika BI 7-days Reserve Repo Rate naik 25 bps, bunga kredit bisa naik jadi 11,45 persen. "Selain itu, tidak menutup kemungkinan BI akan naikkan bunga acuan hingga 50 bps pada tahun ini," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement