REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju kurs rupiah terhadap dolar AS masih terpuruk. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar AS (Jisdor), hari ini posisi mata uang Garuda menembus level Rp 14.100 per dolar AS, tepatnya Rp 14.107 per dolar AS. Angka itu lebih lemah dibandingkan posisi kemarin yang masih di level Rp 14.074 dolar AS.
Sementara itu, pada spot perdagangan mata uang, kurs rupiah sempat dibuka menguat lima poin di level Rp 14.053 per dolar AS. Sayangnya, sekitar pukul 09.00 WIB, nilai tukar rupiah berbalik melemah hingga 40 poin ke 14.104 per dolar AS.
Padahal, Bank Indonesia (BI) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (17/5), baru saja memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-days Reverse Repo Rate. Suku bunga acuan tersebut dinaikkan 25 basis poin (bps) menjadi 4,50 persen.
Menanggapi hal itu, Chief Economist Bank Mandiri Anton H Gunawan menilai, kenaikan suku bunga acuan itu tidak akan terlalu berdampak signifikan. "Ya karena suku bunga lending saja rata-rata 10 persen, jadi kalau naik 25 bps kecil," kata Anton di Jakarta.
Meski begitu, kata dia, peningkatan suku bunga tersebut akan berpengaruh ke sentimen pasar. Pasalnya, hal itu menunjukkan BI tidak behind the curve.
"Setelah naikkan 25 bps, kami prediksi di kuartal berikutnya di kuartal tiga, BI akan naikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps lagi. Sambil melihat saat itu tekanan rupiahnya seperti apa," katanya.
Meski begitu, ia meyakini, kurs rupiah akan segera bangkit. Dengan begitu, sampai akhir tahun kurs rupiah diharapkan tidak mencapai level Rp 15 ribu per dolar AS.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, RDG BI memutuskan untuk menaikkan BI 7-days Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen. Keputusan tersebut berlaku efektif sejak 18 Mei 2018.
"Kebijakan tersebut ditempuh sebagai bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah berlanjutnya peningkatan ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global," ujarnya dalam konferensi pers di gedung BI, Jakarta, Kamis (17/5).