REPUBLIKA.CO.ID, MERAUKE -- Menjadikan Kabupaten Merauke, Papua, sebagai lumbung pangan dan pemantik besar ekspor ke negara tetangga, seperti Papua New Guenea (PNG) dan Pasifik, bukanlah isapan jempol belaka. Membangun kawasan baru termasuk daerah perbatasan adalah cita-cita nawa cita, mengapa ragu dan tanggung?
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua sekaligus Penanggung Jawab Kegiatan Dukungan Inovasi Bioindustri Daerah Perbatasan Dr Siska Tirajoh berpandangan, padi saat ini sudah menjadi komoditas tuan rumah di bumi Anim Ha.
"Padi sudah menjadi komoditas yang diperhitungkan dan bukan lagi pendatang baru di Merauke," kata Siska.
Merauke, Siska melanjutkan, kini juga sudah menjadi pemasok kebutuhan pangan seluruh kekuatan sekutu di Perang Pasifik yang lebih dikenal sebagai Proyek Padi Kumbe, berlanjut ke Proyek MIRE, MIFFE, Kawasan Ekonomi Khusus, hingga launching program cetak sawah 1 juta hektare oleh Presiden Joko Widodo.
Tim BPTP mengadakan kunjungan ke salah satu lokasi pengembangan padi di Dusun Wasur II Kelurahan Rimba Jaya Distrik Merauke di Gapoktan Nup Yong Bon, khususnya Kelota Lancar 4 bersama 20 anggota.
Anggota Tim BPTP Sukarno didampingi PPL senior Sunaryo menuturkan, pada luas lahan 60 hektare, seluas 47 hektare di antaranya telah ditanami padi. Varietas padi Balitbangtan, seperti Inpara 1, 2, 3, dan 8 dengan produktivitas rata-rata berkisar 7-10 ton/ha Gabah Kering Panen (GKP) sudah ditanam di Anim Ha dan saat ini sedang dilakukan pertanaman Inpara 8.
Padi Inpara 8 adalah jenis padi inbrida lahan rawa yang sudah lama dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi). Potensi lahan rawa di Papua belum seluruhnya tergarap.
“Karena itu, petani lahan rawa perlu mengoptimalkan peningkatan IP dari yang semua hanya sekali tanam menjadi dua kali dalam setahun (IP 200),” kata Kepala BPTP Papua Dr Yuliantoro Baliadi.
Berdasarkan catatan Badan Litbang Pertanian, dari sekitar 0,66 juta hektare lahan rawa yang ditanami padi, hanya 10 persen areal yang ditanami dua kali dalam setahun (IP 200). “Sisanya atau yang 90 persen hanya ditanam satu kali setahun (IP100),” ujar Yuliantoro. (Siska Tirayoh/Balitbangtan)