REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VI DPR Inas Nasrullah Zubir mengatakan, peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 yang jadi dasar hukum pembentukan holding hingga kini masih dipertanyakan oleh DPR. PP itu dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. "Banyak teman-teman di Komisi VI yang masih tidak setuju dengan PP tersebut," kata Inas, Rabu (11/4).
Selain menghilangkan fungsi DPR ketika akan ada pengalihan kekayaan atau aset negara dari satu BUMN ke BUMN lain, menurut Inas, ketentuan saham istimewa (golden share) yang diatur dalam PP 72 juga dipertanyakan. Cukup dengan satu saham istimewa di perusahaan, maka perusahaan itu masih bisa dibilang sebagai BUMN dan Pemerintah berwenang penuh. Payung hukum di atasnya di mana, di UU BUMN atau UU manapun tidak ada yang mengatur seperti itu," papar Inas.
Pada Pasal 2A ayat (1) PP Nomor 72/2016, disebutkan bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada BUMN atau PT kepada BUMN atau PT lain dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN. Ini berarti bisa tanpa persetujuan DPR.
Padahal, UU Nomor 17/2003 mengatur bahwa perubahan kekayaan negara menjadi aset BUMN dan PT tidak dapat langsung dikerjakan oleh pemerintah karena harus dibahas dengan DPR, yakni Komisi VI dan Komisi XI.