REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan bahwa sistem tata niaga impor pangan di Indonesia masih harus diperbaiki. Karena data yang ada untuk menunjang izin impor pangan belum rapi.
Hal ini juga yang telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). BPK meminta Presiden Jokowi agar mengintruksikan Kementerian dan Lembaga terkait yang berhubungan dengan pangan untuk memperbaiki data pangan, sehingga bisa diketahui jumlah ketika akan mengimpor pangan tertentu.
"Ya akan ditindaklanjuti presiden, karena memang data (pangan) itu harus kita rapikan," ujar Moermahadi di Istana Negara usai bertemu Jokowi, Kamis (5/4).
Moermahadi menuturkan, BPK telah memberikan usulan kepada pemerintah bahwa surat impor pangan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan harus sesuai dengan data yang ada di Kementerian Pertanian, Kelautan, atau Kementerian lain yang berhubungan dengan pangan harus masuk terlebih dahulu. "Kalau tidak ada data ya 'ga' usah (impor)," ujar Moermahadi.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017, BPK telah memasukan mengenai tata kelola impor pangan. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengendalian intern atas pengelolaan tata niaga impor pangan belum efektif untuk memenuhi kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, karena sejumlah permasalahan di antaranya mengenai alokasi impor gula kristal putih, beras, sapi dan daging sapi yang ditetapkan dalam Persetujuan Impor (PI) tidak sesuai dengan data kebutuhan dan produksi dalam negeri.
Penerbitan PI dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga belum sesuai dengan ketentuan, yaitu tidak sesuai atau tidak melalui rapat koordinasi, tidak didukung data analisis kebutuhan, dan atau tanpa rekomendasi teknis Kementerian Pertanian. Standar operasional penerbitan PI pun belum berjalan optimal dan Kementerian Perdagangan tidak memiliki sistem untuk memantau realisasi impor dan kepatuhan pelaporan importir.