REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pelaku industri besi dan baja hilir nasional merasa khawatir akan membanjirnya produk impor di pasar dalam negeri. Hal ini seiring dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja.
Keluhan terhadap regulasi tersebut, salah satunya datang dari Asosiasi Fastener Indonesia (AFI). Ketua AFI Rahman mengatakan, pelaku industri besi dan baja menilai bahwa penerbitan Permendag ini membuat banjir produk impor untuk keperluan diperdagangkan. Menurutnya, Permendag 22/2018 yang menghapuskan adanya pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian, diprediksi tidak bisa lagi mengontrol pasokan dan permintaan industri di dalam negeri.
"Kami merasa pertimbangan teknis Kemenperin itu masih diperlukan dalam proses importasi besi dan baja," tutur Rahman melalui siaran pers, Senin (12/2).
Rahman menjelaskan, apabila dalam pengajuan perizinan impor oleh importir umum tidak dikendalikan, importasi produk jadi dari besi dan baja akan melimpah dan mengancam industri dalam negeri. Apalagi, pengawasan lartas telah bergeser ke post border.
Dia menjelaskan, saat ini produksi nasional dari industri besi dan baja turunan sedang berjalan baik dan tengah berencana untuk meningkatkan investasi dan kapasitas pada tahun ini. Utilisasi terus meningkat, dari 2015 sekitar 45 persen, menjadi 55 persen pada 2016, dan naik signifikan sebesar 80 persen tahun 2017. Nilai penjualan pun mencapai Rp 3,2 triliun per tahun dan nilai tambah investasi ditargetkan sebesar Rp 300 miliar tahun ini.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Yusman menjelaskan, kebijakan baru Menteri Perdagangan yang ditandatangani pada 10 Januari 2018, dianggap kurang tepat dan perlu ditinjau ulang. Permendag 22/2018 ini merupakan perubahan ketiga dari Permendag Nomor 82 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya.
"Pertimbangan teknis Kemenperin seharusnya menjadi syarat utama, apakah boleh atau tidaknya impor bahan baku, karena Kemenperin adalah institusi yang sangat menguasai data antara kebutuhan dan suplai produk industri baja turunan dalam negeri," ujarnya.
Dia menilai, kebijakan ini tidak mencerminkan keberpihakan terhadap industri dalam negeri. Padahal, pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang sedang fokus pada peningkatan produktivitas dan daya saing industri nasional.
Bahkan, melalui kebijakan hilirisasi industri mampu membawa efek yang luas berupa peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor. Apalagi, Indonesia tengah menargetkan produksi 10 juta ton baja pada 2025. "Kami berharap, pemerintah terus melindungi kepentingan industri dalam negeri agar bisa tumbuh sehat dan berdaya saing untuk ikut berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, " ucapnya.