REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati meluncurkan Komodo Bond kedua di London baru-baru ini. Obligasi tersebut berdenominasi rupiah yang dijual di pasar utang Internasional.
Pada kesempatan itu, Ani pun sempat diwawancara oleh media Reuters. Dalam wawancaranya tersebut, ia mengritik kebijakan proteksionisme yang dilakukan Amerika Serikat (AS).
Tidak hanya itu, Ani juga mengritik kebijakan kurs dolar AS. Menurutnya AS terasa sengaja melemahkan mata uangnya agar ekspor negara yang dipimpin Presiden Donald Trump tersebut bergairah.
Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, pernyataan Sri Mulyani dalam wawancara itu tidak akan memengaruhi market secara langsung. Tidak pula berpengaruh pada psikologi hubungan dagang AS dan Indonesia.
"Statement itu wajar, karena bukan berisi penuntutan jadi tidak berpengaruh," ujarnya kepada Republika, Selasa, (30/1). Kondisi perekonomian dalam negeri, kata dia, juga tidak akan terganggu.
Ekonom Indef Eko Listiyanto menambahkan, kebijakan pemotongan pajak di AS sudah pasti bertujuan untuk mendorong perekonomian melalui peningkatan produksi sektor swasta atau dunia usaha. Maka agar produksi laku terjual atau kompetitif, mata uangnya pun dilemahkan.
"Di sisi lain AS membuat kebijakan proteksi agar pasar dalam negeri diisi produk-produk AS," ujar Eko saat dihubungi Republika, Selasa, (30/1). Ia menambahkan, ujung-ujungnya kebijakan itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS.
Bagi Indonesia, kata dia, penguatan kurs rupiah sejauh ini blm mengganggu kinerja ekspor. Hanya saja sangat mungkin strategi Trump tersebut akan membuat surplus perdagangan Indonesia-AS menipis, mengingat konsumen Indonesia relatif menyukai produk-produk AS.