Senin 29 Jan 2018 09:59 WIB

Bitcoin Menurut Fikih

Bitcoin bersifat spekulatif dan berisiko tinggi.

Bitcoin (ilustrasi).
Foto: voa
Bitcoin (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr wb, Ustaz. Akhir-akhir ini, marak pemberitaan tentang Bitcoin sebagai alat tukar dan investasi. Dalam pandangan syariah, bolehkah bertransaksi dengan Bitcoin dan bagaimana penjelasannya? Wassalamualaikum wr wb.

Sonnie E, Bandung, Jawa Barat

Jawaban:

Sebelum menjelaskan pandangan fikih terkait Bitcoin, terlebih dahulu dijelaskan apa itu Bitcoin agar gambaran tentang Bitcoin menjadi jelas.

Bitcoin adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara pembelian, transfer pemberian (reward), atau mining (proses menghasilkan sejumlah Bitcoin baru, melibatkan proses matematika yang rumit). Jika dibuat ilustrasi sederhana, dalam sebuah bazar, panitia memberikan kupon-kupon kepada masyarakat untuk mempermudah pembelian barang oleh masyarakat. Dengan kupon tersebut, masyarakat menukar dengan barang. Setelah barang habis, kupon-kupon masih tersedia, maka kupon tersebut diperjualbelikan. Kupon dalam ilustrasi tersebut adalah seperti Bitcoin.

Bitcoin tidak memiliki underlying asset, nilai tukar sangat fluktuatif, tidak bisa diprediksi dan kenaikan sangat tidak wajar. Bitcoin juga tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah oleh otoritas dan transaksi person to person tanpa lembaga perantara resmi.

Berdasarkan gambaran tersebut, bisa disimpulkan bahwa Bitcoin bukan uang karena belum memenuhi dua kriteria uang (diterima oleh masyarakat luas dan diterbitkan oleh otoritas), sebagaimana definisi uang.

Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum....” (Sulaiman al-Mani, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami). Juga pengertian uang yang lain, “Naqd (uang) adalah sesuai yang dijadikan harga oleh masyarakat baik terdiri atas logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya yang diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” (Rawwas Qal'ah Ji, al-Mu'amalat al-Maliyah).

Dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menegaskan, "Dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan rupiah."

Kedua, Bitcoin sarat dengan ketidakjelasan dan spekulasi karena tidak memiliki underlying asset, nilai tukar sangat fluktuatif, dan kenaikan sangat tidak wajar. Bitcoin hanya angka-angka yang diperjualbelikan.

Dalam fikih, ketidakjelasan tersebut disebut garar yang dilarang berdasarkan hadis Rasulullah SAW, “Rasulullah SAW melarang jual beli gaarar.” (HR Muslim dari Abu Hurairah/'Umdatul Qari’, 11/264). Standar syariah AAOIFI No 31 tentang Garar mejelaskan bahwa ketidakjelasan yang dilarang adalah ketidakjelasan yang berat (gharar fahisy).

Dalam fikih, spekulasi tersebut disebut maisir sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu fatawa: Risiko terbagi menjadi dua, yang pertama adalah risiko bisnis, yaitu seseorang yang membeli barang dengan maksud menjualnya kembali dengan tingkat keuntungan tertentu dan dia bertawakal kepada Allah atas hal tersebut. Yang kedua adalah maisir yang berarti memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Spekulasi inilah yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.

Bank Indonesia sebagai otoritas juga telah berkesimpulan bahwa pemilikan virtual currency (di antaranya Bitcoin) itu sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab dan tidak terdapat administrator resmi. Selain itu, karena tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual currency dan nilai perdagangan sangat fluktuatif, sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan.

Dengan demikian, Bitcoin bukan alat pembayaran sah, tidak dilindungi oleh otoritas, sehingga tidak ada perlindungan konsumen. Begitu pula, Bitcoin sangat berisiko dan sarat dengan spekulasi karena tanpa underlying asset, harga tidak bisa diprediksi, kenaikan sangat tidak wajar dan berpotensi merugikan masyarakat. Dalam fikih, kondisi ini adalah dharar (negatif dan merugikan) yang harus dihindarkan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement