Senin 22 Jan 2018 23:07 WIB

Target Swasembada Beras Pemerintah Dinilai tak Realistis

Banyak lahan dikonversi jadi permukiman.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini
Sawah (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Sawah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Target swasembada beras yang ditetapkan pemerintah dinilai tidak realistis. Sebab, kondisi lahan pertanian banyak terkonversi menjadi permukiman.

Direktur Kajian Strategis Kebijakan Pemerintah Institut Pertanian Bogor (KSKP IPB) Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan, saat ini luasan lahan pertanian sangat terbatas, sementara konsumsi meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

"Swasemabada beras 90 atau 100 persen itu sangat sulit," kata dia di IPB International Convention Center, Senin (22/1).

Pemerintah melalui program cetak sawah baru berupaya untuk menjaga produksi beras dalam memenuhi kebutuhan. Sebagian besar, kata dia, cetak sawah baru dilakukan di luar pulau Jawa sebagai ganti konversi sawah di pulau Jawa. Sayangnya, hal itu dinilai tidak mampu menyaingi lahan pertanian yang tergantikan tersebut. "Tidak sama. Dibutuhkan tiga sampai lima kali luasan untuk menyamai produksi di pulau Jawa," katanya.

 

Riset dan inovasi IPB telah menghasilkan beragam bibit pangan unggul dan sistem budidaya tanaman pangan yang lebih produktif. Meski demikian, peningkatan produksi pangan melalui intensifikasi saja dinilai tidak akan dapat mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.

 

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS ), dari 191 juta hektare luas wiIayah daratan Indonesia, hanya sekitar 40 juta hektare atau 21 persen yang merupakan Iahan pertanian. Sensus Pertanian 2013 mencatat goIongan petani dengan Iuas Iahan 0,20-0,49 hektare mendominasi rumah tangga petani Indonesia.

 

Baca juga: Harga Tinggi, Berapa Pasokan Beras yang Digelontorkan Bulog?

 

Data Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperlihatkan negara-negara maju justru mengalokasikan lahan pertanian daIam proporsi yang jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Bank Dunia juga merilis Iaporan bahwa lnggris mengalokasikan lebih dari 71 persen wilayahnya untuk Iahan pertanian. Sementara, Australia menetapkan sekitar 53 persen dari wilayahnya untuk Iahan pertanian yang melingkupi areal seIuas lebih dari 371 juta hektare, hampir 10 kali lebih luas dari total Iahan pertanian Indonesia.

 

Para petani di negara-negara maju menguasai puluhan bahkan ratusan hektare Iahan, sementara petani Indonesia umumnya hanya menggarap kurang dari setengah hektare Iahan. "Di Australia kurang dari 40 hektare itu adalah petani miskin, sementara di Indonesia rata-rata 0,3 hektare," katanya.

 

Hal tersebut diharapkan mampu dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan. Menurutnya, angka swasembada yang tepat bisa didapat dengan menghitung rataan produksi beras nasional 10 tahun terakhir. "Kalau hanya 70 persen, ya mestinya (swasembada beras) 70 persen," kata Dodik.

 

Menurutnya, selama ini pemerintah menyampaikan adanya suprlus produksi beras. Namun, kata dia, berdasarkan kajian data yang telah banyak dilakukan, ada ketidaksesuaian data sebesar 20 hingga 30 persen. "Data tersebut perlu dievaluasi. Apalagi, yang berwenang mengeluarkan data adalah Badan Pusat Statistik (BPS), namun perguruan tinggi dan lembaga penelitian bisa ditugaskan membantu verifikasi dan validasi data," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement