REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Direktur Utama PTPN XI M Cholidi menyatakan produktivitas lahan tebu Tahun 2017 mengalami penurunan dari 80 ton per hektare pada 2016 menjadi 71 ton/ha pada 2017, karena iklim basah yang berkepanjangan dan ketidaktepatan waktu dalam ketersediaan sarana produksi.
"Memang produktivitas lahan tebu rata-rata turun, salah satunya karena iklim basah yang berkepanjangan juga ketidaktepatan waktu dalam ketersediaan sarana produksi," katanya di Surabaya, Senin (15/1).
Untuk itu, kata Cholidi, ke depan perseroan sedang berupaya menekan harga pokok produksi (HPP) agar petani bergairah untuk menanam tebu. "Misalnya kami menjadi penjamin untuk kredit permodalan usaha pertanian tebu, dan kerja sama dengan PT Petrokimia Gresik untuk ketersediaan pupuk tepat waktu, termasuk menyediakan layanan mekanisasi (penyediaan sewa traktor dan lain-lain)," katanya.
Dengan pola seperti itu, kata Cholidi, maka bahan baku nantinya wajib disetor ke PTPN XI, sehingga tidak ada alasan mendua karena adanya pola kemitraan dengan petani.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil mengakui Harga Eceran Tertinggi (HET) gula sebesar Rp12.500 per kg yang ditetapkan pemerintah sangat tinggi.
Oleh karena itu, dia meminta untuk dievaluasi kembali, karena tidak sebanding dengan Harga Pokok Produksi (HPP) petani, dan membuat petani kurang bergairah untuk menanam tebu.
Ia mengatakan, rumus kebutuhan gula harus dihitung berdasarkan konsumsi per kapita sama seperti beras, dan untuk patokan harga pun sangat tidak fair bila disetarakan karena konsumsi gula tidak sebanyak konumsi beras per kapitanya.
"Harga gula di tingkat petani yakni Rp 15 ri bu per kg dan di konsumen atau HET Rp 17.500 per kg, dan jangan dihitung mahal, ayo dihitung secara perkapita. Jangan sampai nanti seperti komoditas kedelai, dulu kedelai dihantam harga murah, setelah petani tidak mau menanam sekarang malah impor semua," katanya.