REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Realisasi penyerapan anggaran pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di berbagai tempat hanya sebesar 55,23 persen dari pagu Rp 771,8 miliar sehingga perlu adanya pembenahan. "Reformasi pengelolaan program dan anggaran KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang diujicobakan pada kegiatan SKPT belum berhasil," kata Koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufan, Sabtu (13/1).
Menurut dia, rendahnya penyerapan tersebut antara lain karena gagalnya pelembagaan program SKPT di internal KKP, kehati-hatian pelaksanan kegiata, serta perencanaan program yang kurang matang sejak awal. Ia mengungkapkan dari 12 lokasi SKPT tahun 2017, Saumlaki dan Merauke dinilai sebagai lokasi yang berkinerja rendah.
"Menteri Kelautan dan Perikanan mesti melakukan evaluasi terhadap sistem program, SDM dan tim pelaksana SKTP agar program ini bisa optimal," paparnya.
Selain itu, ujar dia, KKP juga mesti berani mendorong semua lokasi dan program SKPT menjadi program strategis nasional agar bisa mendapat sejumlah kemudahan pelaksanaan dari segi pembiayaan, perizinan dan investasi. Tanpa terobosan besar di tahun 2018, lanjutnya, kinerja SKPT tidak akan mengalami perubahan secara signifikan.
Ia juga mengingatkan dengan penurunan alokasi anggaran KKP sebesar 20,26 persen dalam APBN 2018 dari Rp9,13 triliun menjadi Rp7,28 triliun, juga patut dipertanyakan kemampuan perencanaan program dan kegiatan KKP dalam memformulasikan kebutuhan pembangunan kelautan dan perikanan secara lebih terukur.
Sebelumnya, KKP juga telah menjalin kerja sama dengan sejumlah mitra seperti Pertamina dalam rangka mengembangkan SKPT di berbagai daerah. "Kami selalu mendukung Pertamina karena Pertamina yang kuat dan sehat adalah mitra untuk mengembangkan wilayah SKPT," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam acara penandatanganan nota kesepahaman bersama KKP-Pertamina di Kantor KKP, Jakarta, 31 Juli 2017.
Menteri Susi memaparkan, dengan kolaborasi ini diharapkan dapat memperkuat sistem logistik bahan bakar minyak yang dibutuhkan oleh para nelayan, pembudidaya ikan, serta petambak garam di kawasan pulau-pulau terluar. Dia mengungkapkan bahwa selama ini salah satu permasalahan dalam mengembangkan pulau-pulau terluar antara lain terletak kepada ketersediaan sumber daya alam untuk energi.
Khusus untuk nelayan, ujar Susi, di berbagai daerah juga ditemukan bahwa mereka kerap mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan bakar solar yang sangat esensial dalam melaut. Kerja sama antara KKP dan Pertamina itu ke depannya diharapkan dapat memperlancar pasokan solar bagi berbagai SKPT sehingga kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan terluar juga bisa lancar pula.