Sabtu 30 Dec 2017 16:49 WIB

8 Catatan Fraksi PKS DPR RI Terhadap Kinerja Pemerintah

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini
Foto: ROL/HAvid Al Vizki
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI mengeluarkan delapan catatan yang merupakan hasil evaluasi terhadap kinerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Delapan catatan tersebut menyoroti kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. 

Ketua F-PKS DPR RI Jazuli Juwaini menyebutkan delapan catatan tersebut, yakni pertama, ekonomi Indonesia belum menunjukkan perkembangan menggembirakan. “Pertumbuhan ekonomi masih bergerak rata-rata 5.0 persen per tahun,” kata dia melalui siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (30/12). 

Menurut F-PKS DPR RI, angka tersebut jauh dari target pemerintah dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 7,0 persen per tahun. Dengan melihat capaian Pemerintah dalam tahun 2017, PKS memprediksi proyeksi target pertumbuhan 5,4 persen pada 2018 sulit tercapai. 

“Untuk itu, pemerintah harus kerja keras lagi tahun depan,” ujar Jazuli.

Kedua, kurang maksimalnya pertumbuhan ekonomi, yang bisa memengaruhi kemampuan pemerintah menekan persoalan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. Ini terlihat dari jumlah penduduk miskin yang melonjak pada Maret 2017 dan penyerapan sebagian besar tenaga kerja di sektor dengan tingkat pendidikan, produktivitas, dan upah rendah. 

Kondisi ini, dia mengatakan, membuat pemerintah relatif sulit menekan ketimpangan pendapatan. Sementara itu, pemerintah juga belum memiliki program yang efektif dalam mengatasi persoalan utama tersebut. Kebijakan Pemerintah selama ini masih bersifat tambal sulam. "Praktis dalam tiga tahun terakhir ini angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi," kata dia. 

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang rendah diikuti dengan perlambatan peranan sektor-sektor penyerap tenaga kerja (labor incentive/tradable) seperti pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan. Peranan sektor tradable terhadap pertumbuhan ekonomi semakin menurun karena minimnya stimulus pemerintah, baik segi pembiayaan maupun nonpembiayaan.

Keempat, F-PKS juga menyoroti tentang kebijakan belanja pemerintah yang difokuskan untuk pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. F-PKS memprediksi kebijakan itu belum akan memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional pada 2018. Pemerintah harus bisa mengantisipasi belum beroperasinya proyek infrastruktur seperti jalan tol, jalur kereta api, bandara, pelabuhan, dan proyek lainnya.

"Sehingga hambatan konektivitas yang selama ini menganggu jalur perekonomian yang menjadi kendala pada tahun 2017, bisa segera diatasi," kata Jazuli.

Kelima, kinerja Pemerintah dalam mengendalikan inflasi beberapa tahun terakhir belum konsisten sehingga menyebabkan peran inflasi dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional masih belum optimal. Hal tersebut terlihat dari gejolak harga dari bahan-bahan kebutuhan pokok yang meresahkan masyarakat. 

PKS pun memprediksi target inflasi yang dicanangkan sebesar 3,5 persen akan sangat sulit tercapai pada 2018. Kemampuan pemerintah dalam mengendalikan tekanan inflasi, terutama dari volatile food, juga diperkirakan belum sepenuhnya optimal. PKS mengkhawatirkan kondisi ini akan menganggu pertumbuhan konsumsi masyarakat. 

Selain itu, koordinasi kebijakan fiskal-moneter-sektor riil yang belum terlalu membaik serta konektivitas antarkawasan yang belum sepenuhnya bisa digunakan. Ini, menurut F-PKS, bisa berpengaruh terhadap keseimbangan pasokan dan permintaan barang pokok yang menjadi kebutuhan masyarakat.

Keenam, pemerintah masih saja mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat yang kemudian berdampak terhadap perekonomian masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. "Satu yang paling nyata adalah kenaikan harga-harga barang-barang yang diatur pemerintah, seperti BBM, listrik, dan biaya-biaya administrasi seperti pengurusan STNK, dan biaya-biaya lain termasuk kebijakan perpajakan yang memberatkan," kata Jazuli.

Akibatnya, biaya hidup yang ditanggung masyarakat makin tinggi, terutama bagi penduduk dengan penghasilan 40 persen terbawah. Sementara itu, penduduk ekonomi menengah mulai menahan belanja, yang tergambar dari lonjakan simpanan di sektor perbankan.

Ketujuh, sektor fiskal turut memunculkan kekhawatiran karena tingginya defisit dan beban utang. Padahal, Indonesia baru saja memeroleh investment grade sebagai apresiasi terhadap pengelolaan fiskal sehat. 

Tantangan sektor fiskal mengarah pada sulitnya menggenjot pendapatan, khususnya sektor perpajakan di tengah-tengah kebijakan belanja infrastruktur yang terus melonjak. Hal ini menyebabkan kenaikan utang yang cukup tinggi, sehingga membebani kondisi fiskal pemerintah ke depan.

Kedelapan, Jazuli menyatakan, 2018 dan 2019 merupakan tahun politik. Risiko politik yang terdapat dalam penyelenggaraan pilkada serentak di 171 wilayah, baik tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, akan berdampak terhadap stabilitas keamanan dan ketertiban. 

“Pemerintah harus bisa menjamin pelaksanaan Pilkada tersebut berjalan dengan lancar dan tertib. Bisa dipastikan para investor akan menahan diri untuk berinvestasi pada tahun 2018, hingga kondisi politik benar-benar stabil,” kata dia. 

Jazuli menambahkan evaluasi dan proyeksi ini merupakan bagian dari kewajiban parlemen secara konstitusional untuk melakukan pengawasan dan perbaikan kinerja Pemerintah. "Hasilnya kita harapkan dapat menjadi masukan perbaikan kinerja pemerintah untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat," kata dia. 

Anggota Komisi I ini menegaskan, evaluasi bukan untuk mecari-cari kesalahan apalagi untuk menjatuhkan. "Fraksi PKS ingin bangsa dan negara ini makin maju dan rakyatnya makin sejahtera."

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement