Jumat 17 Nov 2017 14:43 WIB

Menkeu Revisi Aturan Terkait SK Bebas PPh

Sri Mulyani - Menteri Keuangan
Foto: Republika/ Wihdan
Sri Mulyani - Menteri Keuangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menandatangani revisi Peraturan Menteri Keuangan 118/2016 mengenai penggunaan surat keterangan bebas (SKB) pajak penghasilan (PPh) untuk pemanfaatan fasilitas pembebasan PPh pengalihan hak atas tanah bangunan yang belum dibaliknamakan.

"Proses balik nama atas harta berupa tanah dan atau bangunan, yang dulunya diatasnamakan nominee (perantara) dan sekarang jadi wajib pajak bersangkutan, maka proses balik nama tersebut akan dibebaskan dari pengenaan PPh," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (17/11).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan bahwa banyak wajib pajak pemilik tanah atau bangunan yang diatasnamakan orang lain. Sesudah program pengampunan pajak, wajib pajak pemilik harta yang sebenarnya mengakui perihal kepemilikan tanah dan bangunan sehingga diperlukan proses balik nama.

"Proses tersebut dibebaskan dari PPh, jadi tidak termasuk harta baru yang mana mereka harus bayar PPh," ucap Sri Mulyani.

Kemenkeu menyebutkan terdapat sekitar 151 ribu wajib pajak yang berpotensi memanfaatkan fasilitas SKB PPh berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak. Hingga 16 November 2017, sebanyak 34 ribu wajib pajak yang tercatat melakukan proses pengalihnamaan tanah dan bangunan dari pihak perantara (nominee) menjadi wajib pajak pemilik sebenarnya.

"Masih ada hampir 120 ribu lagi. Dari 34 ribu yang memanfaatkan SKB PPh, yang ditolak adalah 20 persen," ucap Sri Mulyani.

Dari jumlah permohonan SKB PPh yang ditolak, sebanyak 48 persen belum mampu memenuhi persyaratan formal seperti lembaran legalisasi dari notaris dan salinan dokumen pendukung. Alasan penolakan berikutnya, yaitu sebanyak 20 persen dari jumlah permohonan SKB PPh yang ditolak, disebabkan oleh perbedaan data yang tercatat.

Perbedaan data dalam surat keterangan dan data pendukung itu terutama menyangkut luas tanah, nomor objek pajak, dan alamat atau lokasi. Kemudian, sekitar 9 persen ditolak karena ada wajib pajak yang membawa harta bukan sebagai harta tambahan yang dideklarasikan namun hendak diikutkan di fasilitas pembebasan pengenaan PPh pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang belum dibaliknamakan.

Berikutnya, tercatat pula bahwa 9 persen penolakan terjadi karena tergolong transaksi jual beli biasa oleh pengembang dan bukan dalam rangka pengampunan pajak. Serta 8 persen sisanya ditolak karena berbagai macam persyaratan lainnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement