REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Utang pemerintah pusat meningkat Rp 45,8 triliun pada Agustus 2017. Hal itu mengakibatkan jumlah utang bertambah hingga 11 persen dari Januari hingga Agustus, dan diprediksi sampai akhir tahun pertumbuhan utang mencapai 13 persen.
''Sementara itu pemanfaatan utang masih belum optimal,'' kata peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, saat dihubungi, Kamis (21/9).
Menurut dia, belum optimalnya pemanfaatan utang tercermin dari realisasi belanja modal yang rendah. Per Agustus 2017, realisasi belanja modal baru mencapai 39 persen dari target APBN. Serapan belanja modal terutama berkaitan dengan progres pembangunan infrastruktur yang lambat.
Selain itu, realisasi pembangunan 245 proyek strategis nasional yang selesai masih di bawah 10 persen. Sementara sisanya tahap perencanaan, lelang dan konstruksi. ''Kalau utang bertambah terus sementara serapan belanjanya rendah, akhirnya SAL akan bengkak, ada utang yang mubazir,'' tambah Bhima.
Padahal, lanjut dia, utang punya konsekuensi bunga yang harus dibayar tiap tahun. Setidaknya bunga utang per tahun diatas Rp 220 triliun. Belajar dari 2015 dan 2016, serapan belanja modal hanya 78 persen dan 80 persen. Artinya selama ini belanja modal memang paling rendah dibanding belanja barang dan operasional.
''Paling yang dioptimalkan akhir tahun penyerapan belanja barang. Itu pun cukup bertentangan dengan semangat self blocking alias penghematan Rp 16 triliun seperti tertuang dalam Inpres,'' ucap Bhima.