REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) berencana menerbitkan ketentuan biaya isi ulang (top up) uang elektronik dari yang sebelumnya gratis. Untuk menerbitkan e-money, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja mengatakan BCA dalam setahun diperlukan investasi IT sebesar Rp 2 triliun, termasuk investasi uang elektronik.
"Untuk uang elektronik, biaya untuk pembeliannya, pemeliharaan, lalu biaya instalasi mesin EDC (electronic data capture) seperti di gerbang tol," kata Jahja saat ditemui di Indonesia Banking Expo 2017 di Jakarta Convention Centre (JCC), Selasa (19/9).
Jahja memaparkan, biaya uang elektronik per tahun mencapai Rp 50-80 miliar. Adapun jumlah uang elektronik Flazz BCA telah mencapai 13 juta kartu dengan kartu aktif atau berisi saldo sebanyak 5 juta kartu, sedangkan sisanya terjual sebagai koleksi atau souvenir.
Untuk saldonya, rata-rata sebanyak Rp 40 ribu per kartu, sehingga jumlah dana mengendap sekitar Rp 200 miliar.
"Jadi kalau Rp 200 miliar, kira-kira spread 6-7 persen, pendapatan Rp 15 miliar per tahun dari endapan dana. Biaya yang diperlukan Rp 80 miliar per bulan, jadi ada minus sedikit," tutur Jahja.
Meskipun nilainya tidak besar, dana mengendap tersebut, kata Jahja, dapat juga dimanfaatkan untuk penyaluran kredit. Terkait biaya isi ulang uang elektronik, Jahja mengaku akan mengikuti arah regulator yaitu BI. Namun ia menilai biaya tersebut diperlukan untuk layanan yang lebih baik.
Sementara itu untuk pembayaran nontunai di gerbang tol, Jahja menilai tidak dapat langsung diberlakukan 100 persen. Karena masyarakat masih banyak yang belum terbiasa menggunakan uang elektronik.
"Memang mustinya bertahap, sehingga yang tunai makin banyak antriannya, dan orang mulai beralih ke non tunai. Persiapan harus matang," kata Jahja.