REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Wacana impor gas sebagai solusi untuk menyediakan gas yang lebih murah untuk industri kembali muncul. Padahal, impor tidak menjamin harga yang didapat bisa lebih murah.
Head of Marketing Perusahaan Gas Negara (PGN) Adi Munandir mengatakan, harga gas domestik di tingkat hulu yang saat ini berkisar 5-6 dolar AS per MBBTU sebenarnya relatif tak jauh berbeda dengan harga rata-rata di kawasan. Seperti harga gas di Cina yang saat ini 5,20 dolar AS dan Jepang 5,35 dolar AS.
Adi mengakui ada beberapa negara yang mampu menjual gas dengan harga jauh lebih rendah, seperti di Amerika Serikat yang saat ini berkisar 3 dolar AS per MMBTU. Namun begitu, jika gas tersebut dibawa ke Indonesia, ada sejumlah biaya yang pada akhirnya membuat harga menjadi jauh lebih mahal ketika sampai di Tanah Air. Adi memperkirakan, harga gas dari Amerika itu bisa melonjak dari 3 dolar AS menjadi 8 dolar AS per MMBTU. Itu pun masih dalam bentuk Liquefied Natural Gas (LNG), belum dalam bentuk gas yang siap dipakai di tingkat konsumen akhir. Sehingga masih dibutuhkan biaya pemrosesan lagi.
"Jadi belum tentu dengan impor bisa mendapat harga yang lebih murah," ujarnya, saat memberikan materi dalam seminar ''Efisiensi Gas Industri Tanpa Harus Impor'' yang diselenggarakan Forum Wartawan Industri (Forwin) di Grand Diara Hotel Bogor, Kamis (7/9).
Adi menilai banyak faktor lain yang harus dipikirkan sebelum pemerintah memutuskan untuk melakukan impor gas. Kalaupun dengan cara impor berhasil didapat harga yang lebih murah, kata dia, maka industri gas domestik menjadi tak layak produksi. "Buat apa investasi jutaan dolar kalau tidak bisa dijual gasnya?"
Karena itu, Adi menyimpulkan persoalan impor harus diliat secara utuh. Tidak boleh dilakukan jika tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan harga. PGN sendiri memastikan bahwa pasokan gas saat ini masih dalam posisi surplus. Bahkan, hingga 2019 mendatang Adi memastikan cadangan gas masih aman sehingga Indonesia belum butuh impor.