REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SKK Migas menilai produksi gas nasional yang sedang tumbuh bisa menjadi peluang baru. Sebab, saat ini salah satu tantangan pengembangan lapangan gas di Indonesia adalah infrastruktur gas yang masih minim sehingga menyulitkan offtaker.
Deputi Keuangan Dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi menjelaskan misalnya kondisi surplus gas di Jawa Timur. Meskipun pipa Cirebon Semarang tahap I sudah selesai, tapi masih perlu akselerasi. Untuk menyiasati surplus tersebut, Kurnia menilai ada pengembangan mini LNG dan CNG.
"Ada beberapa wilayah yang sulit dilalui dengan gas pipa, bisa ditempuh melalui CNG. Ini sangat membantu karena harganya masih lebih murah dari LPG," kata Kurnia di Kantor SKK Migas, Jumat (12/1/2024).
Kurnia menjelaskan saat ini LPG nonsubsidi dibanderol Rp 17 ribu per kilogram. Sedangkan CNG sampai ke pelanggan bisa mencapai Rp 11 ribu-Rp 15 ribu per kilogram.
"Ini cukup kompetitif untuk bisa menggantikan LPG nonsubsidi yang mostly masih impor," kata Kurnia.
Sebelumnya, Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menjelaskan saat ini pemerintah bersama SKK Migas juga secara paralel sedang melakukan identifikasi sumber gas hulu yang bisa mengganti LPG.
"Elpiji coba kita identifikasi hulunya. Jadi sumber gas lapangan gas yang rich c3 dan c4 kita identifikasi. Nanti dari situ kita kan harus bangun kilang elpiji berapa jumlahnya bisa ditambahkan untuk produksi dalam negeri," kata Tutuka di Kementerian ESDM, Kamis (12/1/2023).
Opsi lain yang akan diambil pemerintah adalah dengan lebih banyak menggunakan sumber gas yang sudah ada yakni dengan pemanfaatan gas pipa, jaringan gas (jargas), dan penggunaan compressed natural gas (CNG).
"Kita upayakan supaya CNG bisa lebih banyak dipakai," pungkas Tutuka.