REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan, melalui Dirjen Pengelolan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mengungkapkan utang pemerintah naik Rp 73,47 triliun selama Juli 2017. Dengan jumlah itu, maka utang pemerintah pusat sampai dengan akhir Juli 2017 mencapai Rp 3.779,98 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.045,0 triliun (80,6 persen) dan pinjaman sebesar Rp 734,98 triliun (19,4 persen).
Penambahan utang neto selama Juli 2017 sebesar Rp 73,47 triliun berasal dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp 65,50 triliun dan penarikan pinjaman (neto) sebesar Rp 7,96 triliun. ''Tambahan pembiayaan utang memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial,'' kata Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Robert Pakpahan, dalam siaran persnya, Jumat (18/8).
Selama Juli 2017, telah dilakukan lelang penerbitan SBN dengan total penerbitan (bruto) mencapai Rp 89,37 triliun, sedangkan penarikan pinjaman (bruto) sebesar Rp 6,1 triliun. Selama Juli ini, minat investor terhadap SBN masih cukup tinggi, di mana penawaran yang dimenangkan lebih kecil dari yang penawaran yang masuk (rata-rata bid-to-cover ratio lelang penerbitan SBN bulan Juli sebesar 2,66).
''Pemanfaatan utang Pemerintah, terutama yang berasal dari pinjaman, antara lain ditujukan untuk pembiayaan proyek yang dilaksanakan oleh beberapa Kementerian/Lembaga,'' ucap Robert.
Hingga Juli 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pertahanan merupakan tiga kementerian yang memiliki porsi terbesar dalam hal pemanfaatan utang untuk pembiayaan proyek (66,43 persen dari akumulasi penarikan pinjaman proyek oleh K/L). Berdasarkan sektornya, porsi terbesar pemanfaatan utang pemerintah ditujukan ke sektor Keuangan, Jasa, dan Bangunan (75,79 persen dari total outstanding pinjaman), di samping beberapa sektor ekonomi lainnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, bertambahnya utang tersebut karena pemerintah tengah melakukan percepatan pembangunan infrastruktur. Menurut dia, kas negara saat ini sangat terbatas untuk menutupi pembiayaan infrastruktur. ''Itulah konsekuensinya,'' kata dia, di Jakarta, Jumat (18/8).