REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra
Soni sedang melihat dengan saksama pekarangan rumahnya. Warga Dusun Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang ini berusaha memeriksa saluran pipa pembuangan kotoran sapi perah. Soni memang berencana membuat saluran pipa dari tempat penampungan kotoran sapi untuk diubah menjadi biogas.
"Nanti saya mau pasang pipanya setelah rumah ini jadi," ujar Soni saat ditemui Republika, belum lama ini. Selama ini, Soni beserta istri dan anaknya yang berusia empat tahun masih menumpang di rumah orang tuanya yang terletak bersebelahan.
Dia membangun rumah dengan memanfaatkan lahan di belakang rumah orang tuanya. Menurut dia, membuat instalasi biogas sebenarnya mudah lantaran ia pernah mengikuti praktik yang diajarkan teknisi dari Koperasi Agro Niaga (KAN) Jabung.
Dia menuturkan, warga di wilayahnya dan kampung sebelah sebagian besar terpasang instalasi biogas lantaran di rumahnya memiliki sapi perah.Soni menerangkan, dalam membuat instalasi biogas sebenarnya cukup mudah. Dia menerangkan, kotoran sapi di kandang dialirkan menuju sebuah tempat penampungan yang terletak di pekarangan rumah.
Berjarak dua meter, terdapat kotak penampung dari besi hampa udara yang menghasilkan gas metan. Selanjutnya, gas metan yang dihasilkan itu ditampung dalam sebuah drum, hingga dialirkan melalui pipa ke dalam rumah yang tersambung dengan kompor gas.
Menurut Soni, karena bak penampungan kotoran sapi sudah tersedia, ia tinggal memasang pipa saja dari drum untuk menyalurkan gas metan hingga ke dalam rumah. Bak penampungan kotoran sapi berdiameter sekitar dua meter dengan kedalaman dua meter.
Dia menuturkan, bak penampungan itu setiap harinya menerima pasokan limbah cair dari tujuh ekor sapi perah. Kandang sapi perah yang diberdayakan Soni dan ayahnya itu terletak di bagian belakang rumah orang tuanya. "Ini sudah empat tahun. Saya dulu ikut terlibat pembuatan sejak awal proses biogas ini dengan diajari petugasnya. Jadi sudah bisa sekarang membuat sendiri," tuturnya.
Soni menerangkan, pada awalnya warga tidak tahu apa itu biogas. Setelah mendapatkan penjelasan dan penawaran dari KAN Jabung, warga di tempatnya hingga desa sebelah yang mencapai ratusan berkenan memasang instalasi pengolahan limbahmenjadi biogas di rumah masing-masing.
Hal itu terjadi setelah warga merasa mendapatkan manfaat ganda terkait keberadaan biogas. Selain mendapatkan energi alternatif yang bisa diproduksi sendiri dari kotoran sapi yang diternak, sambung dia, warga juga mendapatkan keuntungan terkait pengelolaan limbah cair yang selama ini mengotor lingkungan dan menimbulkan bau tak sedap. Soni menyatakan, dampak peternakan sapi perah warga membuat kotoran sapi menjaditidak terkendali karena warga sebelumnya tidak memiliki tempat pengolahan limbah cair.
Limbah dibuang ke sembarang tempat. Dan parahnya, tidak sedikit warga yang langsung membuat limbah ke depan rumahnya yang merupakan aliran sungai. Dampaknya, sungai menjadi tercemar dan tidak bisa digunakan lagi untuk mandi dancuci baju lantaran dipenuhi kotoran sapi.
Berkat adanya pembuatan pengolahan biogas, limbah yang dulu tidak bernilai dan malah mencemari lingkungan kini dimanfaatkan menjadi energi alternatif. "Saat ini, biogas dijadikan sarana untuk memasak. Digabung dengan elpiji tiga kilogrambuat cadangan," ujar Soni.
Menurut Soni, biaya untuk membangun sistem biogas di rumah orang tuanya mencapai sekitar Rp 6,5 juta per orang. Jumlah itu memang terbilang besar dan memberatkanbagi warga. Namun, pada akhirnya banyak warga yang menerima tawaran dibuatkan alat pengolahan biogas oleh KAN Jabung. Hal itu lantaran KAN Jabung dan warga sepakat mengenai pembiayaan pembangunan instalasi biogas dengan cara dicicil.
Soni melanjutkan, warga yang memiliki ternak sapi perah, selama ini memang berstatus sebagai anggota koperasi. Mereka menyetorkan susu sapi setiap pagi dansore hari kepada petugas jaga KAN Jabung. Warga pun diberi keringanan pembayarandengan cara pemotongan hasil setoran susu sapi kepada KAN Jabung.
"Jadi dibayar pakai setor susu setiap harinya. Susu yang disetor, hasilnya dipotong untuk biaya pemasangan biogas. Ada yang sampai tiga tahun untuk pelunasannya. Ini enak jadinya menghemat dan tidak terasa tahu-tahu sudah lunas," tutur Soni.
Rasimum mengatakan, ia tertarik memakai biogas lantaran bisa menghemat pengeluaran untuk membeli tabung gas elpiji. Selama ini, ia menggunakan tungku dan kompor gas memakai gas elpiji tiga kilogram atau gas melon.
Rasimun mengaku,ia mau memasang biogas di rumahnya lantaran sistem pembayarannya bisa dicicil dengan memakai metode setor susu. Apalagi hampir semua tetangga di Dusun Busu dan kampung sebelah juga mengikuti program pemanfaatan biogas hingga ia tidak mau ketinggalan.
Pada waktu itu, sambung dia, juga mulai muncul kesadaran di masyarakat tentang efek negatif limbah cair dari sapi perah yang menimbulkan bau tak sedap. Akhirnya, ia dan semua warga yang memiliki sapi perah akhirnya resmi memanfaatkan biogas untuk memasak di rumah.
Rasimun menyatakan, menggunakan biogas untuk memasak banyak manfaatnya lantaran ketika menanak nasi maupun lauk-pauk cepat matang. Kekhawatiran warga pada awalnya terkait masakan berbau lantaran api diolah dari kotoran sapi juga tidak terbukti. Manfaat lainnya, persoalan limbah cair yang selama ini dikeluhkan warga juga akhirnya teratasi.
"Apinya emang besar cepat panas, kalah gas elpiji. Tapi ya itu, kompornya jadi cepat rusak. Pemutar tuas gas karena kepanasan jadi leleh. Sudah dua kali kompornya rusak jadi sekarang nggak dipakai biogasnya untuk sementara," tutur Rasimun dibenarkan istrinya Rasiyah.
Rasimun menuturkan, di rumahnya rata-rata menggunakan gas melon sebanyak dua sampai tiga kali selama sebulan. Dia menerangkan, maksimal penggunaan gas melon di rumahnya tiga kali sebulan. Adapun gas melon yang dijual di warung seharga Rp 16 ribu hingga Rp 17 ribu per tabung.
Kalau dihitung-hitung, ia sudah hemat jutaan rupiah sejak memakai biogas selama empat tahun lalu. Rasimun menuturkan, apabila semua warga dikumpulkan maka rata-rata mereka bisa hemat ratusan juta dengan memakai energi terbarukan dan ikut mendukung program pemerintah lantaran tak ikut menikmati gas elpiji yang disubsidi. "Ya memang lebih hemat ada biogas, cuma kompornya sepertinya tidak tahan panas. Perlu beli kompor yang bagus, sekarang dibiarkan saja pakai gas elpiji dulu," ujar Rasimun.