Senin 24 Jul 2017 17:14 WIB

Pemerintah Diingatkan Bahaya Penurunan PTKP

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nur Aini
Pajak (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pajak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai rencana pemerintah yang ingin menurunkan batas maksimal Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di tengah kondisi melemahnya daya beli masyarakat saat ini kurang tepat. Jika rencana itu diimplementasikan, Bhima meyakini akan ada penurunan tingkat konsumsi, terutama di daerah yang memiliki Upah Minimum Provinsi (UMP) rendah.

Aturan yang berlaku saat ini, batas maksimal penghasilan yang tidak kena pajak adalah Rp 4,5 juta per bulan. Apabila batas tersebut diturunkan sehingga disesuaikan dengan UMP, maka akan semakin banyak masyarakat yang penghasilannya dikenai pajak. Sebab, tidak ada daerah dengan UMP mencapai Rp 4,5 juta.

Karenanya, akan ada banyak masyarakat yang semula tidak bayar pajak lalu menjadi wajib pajak. Hal ini, kata Bhima, akan membuat kelompok masyarakat tersebut mengurangi konsumsi mereka.

"Disposable income menjadi berkurang. Dampaknya daya beli akan merosot cukup signifikan," kata Bhima, saat dihubungi Republika.co.id, Senin (24/7).

Ia lalu merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pengeluaran 40 persen penduduk terbawah hanya tumbuh 1.89 persen. Angka itu cukup rendah dibanding angka per September 2016 yang tumbuh 4.56 persen.

Jika batas PTKP diturunkan, Bhima khawatir pertumbuhan pengeluaran kelompok menengah kebawah akan semakin terdampak. "Saya kira momentumnya kurang tepat untuk merubah PTKP. Dalam sejarahnya juga PTKP tidak pernah diturunkan selalu dinaikkan untuk mengimbangi kenaikan UMP," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement