Ahad 16 Jul 2017 18:49 WIB

Suhu Politik Dinilai Picu Penjualan Sektor Properti Anjlok

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini
Pameran gedung apartemen saar pameran properti di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, Ahad (14/2).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pameran gedung apartemen saar pameran properti di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, Ahad (14/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lesunya sektor properti Tanah Air pada 2017 dinilai terpengaruh perkembangan politik di Tanah Air. Selama ini, pertumbuhan properti dikarenakan adanya para konsumen menengah ke atas menjadikan properti sebagai investasi. Namun, diakui pemerhati properti Panangian Simanungkalit, kelas menengah ke atas tersebut memilih menahan diri untuk berinvestasi karena ketidakpercayaannya akibat politik 2016.

"Mereka menahan diri, menunggu. Mereka biasanya beli, beli, beli untuk investasi," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (16/7).

Tahun politik pada 2016 lalu yakni pemilihan gubernur DKI Jakarta dinilai sebagian pihak cukup 'panas' yang cukup mempengaruhi sektor properti. Gairah properti menurun yang tampak pada sepinya iklan di media massa akibat berkurangnya pembeli kalangan menengah ke atas. Bahkan banyak dari pemilik properti untuk investasi ini menjual asetnya yang menyebabkan harga properti cenderung turun.

"Kepercayaan mulai hilang di mata kelas menengah ke atas termasuk orang asing yang membeli properti," ujarnya. Tak pelak, ia menambahkan, pertumbuhan properti pada 2017 ini yakni rumah dengan harga Rp 1 miliar ke atas dan apartemen cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan.

Selain karena ketidakpercayaan akibat politik, lesunya sektor ini juga diakibatkan perekonomian Indonesia yang masih belum membaik. Pelonggaraan loan to value ratio (LTV) maupun pembiayaan serta program amnesti pajak untuk mendorong sektor ini diakui Panangian tidak terlihat dampaknya.

Kendati demikian, pembelian properti untuk kelas menengah yakni rumah seharga Rp 500 juta ke bawah sudah lebih baik dari tahun lalu. Begitu juga dengan pembelian apartemen di bawah Rp 700 juta. "Tapi tidak sebaik lima tahun lalu," katanya.

Menurutnya, bangkitnya pertumbuhan properti untuk kalangan menengah ke bawah ini karena inflasi yang mulai rendah dan persaingan suku bunga bank besar menjadi penyebab peningkatan pertumbuhan properti kalangan menengah ke bawah. Meski, ia menegaskan, kebangkitan tersebut belum seperti lima tahun lalu, di mana properti Indonesia menjadi yang paling menguntungkan di dunia.

Ia pun optimis pertumbuhan sektor properti akan kembali terjadi pada 2018 seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. "Kalau sekarang kita masih sama dengan 2016 sekitar 5,2 persen tapi kalau tahun depan mungkin ekonomi kita mendekati 6 persen," ujarnya.

Lain halnya dengan pertumbuhan investasi di sektor properti. Tahun 2018 diakui Paniangan merupakan tahun menentukan kepercayaan investor. Pada 2018 akan dilakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat yang cukup menjadi perhatian nasional dan disusul pesta demokrasi Pemilihan Presiden pada 2019. "Pilkada Jawa Barat kuncinya," kata dia.

Jika pemilihan tersebut mirip dengan Pilkada Jakarta maka bukan hal mustahil sektor properti akan semakin terpuruk dan menyebabkan jatuhnya harga. Ahli properti yang juga sebagai pendiri Panangian School Of Property ini tidak bisa memastikan terjadinya pertumbuhan properti pada tahun depan. "Kita harus melihat ekonomi Indonesia semester satu 2018 ini apakah sudah naik, lalu lihat politik," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement