REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah kembali diingatkan untuk tidak terlalu mudah menambah utang baru. Hal ini setelah pemerintah mengajukan proposal penambahan pembiayaan utang sebesar Rp 76,6 triliun kepada Badan Anggaran DPR, demi menambal defisit fiskal yang melebar ke angka 2,92 persen. Selisih antara belanja negara dan penerimaan tercatat sebesar Rp 397,2 triliun dan pembiayaan utang juga bertambah menuju angka Rp 461,3 triliun.
Meski pemerintah meyakinkan bahwa defisit bakal tertahan di level 2,67 persen dengan mengasumsikan realisasi belanja negara sebesar 97 persen, tetapi penambahan pembiayaan utang seolah menekankan pemerintah hanya melakukan "gali lubang tutup lubang".
Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis Jajang Nurjaman menilai bahwa utang masih dianggap menjadi salah satu solusi defisit fiskal lantaran dengan utang, belanja negara tidak terganggu dan bunga utang yang jatuh tempo bisa dibayar. "Sangat praktis meskipun yang sedang terjadi sebenarnya adalah seperti lagunya Rhoma Irama “gali lobang tutup lobang”," ujar Jajang, di Jakarta, Selasa (11/7).
Center for Budget Analysis menilai, kondisi utang negara saat ini tidak bisa dianggap enteng. Hal tersebut di antaranya menyebabkan anggaran 2017 mengalami defisit sampai 2,92 persen mendekati batas defisit anggaran sebesar tiga persen yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Jajang menambahkan, pemerintah Jokowi masih harus membayar bunga utang sebesar Rp 221.2 triliun. Bukan hanya membayar bunga utang, akan tetapi pemerintah juga harus membayar pokok utang sebesar Rp 293,3 triliun. Artinya, jika ditotal antara bunga utang ditambah pokok utang, maka total yang harus dibayar oleh pemerintah sebesar Rp 514.5 triliun.
Ia mengungkapkan, Presiden Jokowi harus benar-benar ketat mengawasi setiap sen anggaran negara yang mengalir di tubuh pemerintahannya. Anggaran tersebut, menurut Jajang, harus digunakan untuk program yang produktif. "Jangan sampai anggaran negara tersebut malah dijadikan bancakan oknum yang tidak bertanggung jawab seperti Kasus e-KTP dan sederet kasus korupsi lainnya," katanya.